blog ini di khususkan buat penambahan cakrawala berfikir kita tentang IPTEK. dan benar milik hendri. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Konsep Dasar Akhlak Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Akhlak Tasawuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan dan memandu perjalanan hidup umat agar selama dunia dan di akhirat. Tidak berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurkan akhlak mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam Al-qur’an.
Tasawuf atau dalam ilmu pengetahuan atau lebih dikenal dengan sufisme, adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan untuk mistikisme dalam islam, sebenarnya, suluk merupakan suatu isltilah khusus dalam konteks yang lebih luas, yaitu mistikisme nusantara. Tujuan pokoknya tetap sama, yakni memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan.
Walaupun apa yang diuraikan tantang pengertian tentang tasawuf cukup gamblang, namun masih banyak kalangan umat islam yang masih meragukan bahwa tasawuf tidak bersumber dari ajaran agama islam. Padahal sebenarnya tasawuf adalah pokok-pokok ajaran dari Nabi Muhammad saw yang diduskusikan dengan para sahabat Nabi tentang apa-apa yang diperolehnya dari malaikat Jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran islam, yakni islam, iman dan ihsan. Ketiga sendi pokok ini diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf sebagaimana diriwayatkan perawi Hadits Imam Bukhari dan Muslim.
Dasar-dasar tasawuf telah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan Rasulullah Saw. cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diikuti oleh para sahabat. Selama periode Makah, kesadaran spiritual Rasulullah Saw. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Alquran surat An-Najm: 11-13; Surat At-Takwir: 22-23. Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsipil dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Alquran sebagai landasan utama. Karena manusia mempunyai kecenderungan sifat baik dan sifat jahat, sebagaimana yang dinyatakan. “Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,” maka harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek dan pengembangan sifat-sifat baik, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”.
1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka kita dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah. Sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari tasawuf?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf?
3.      Ruang lingkup apa saja dalam pembahasan tasawuf?
4.      Objek kajian apa saja dalam tasawuf?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mempelajari tentang pengertian tasawuf.
2.      Untuk mempelajari tentang sejarah perkembangan tasawuf.
3.     Untuk mempelajari tentang ruang lingkup dan objek kajian dalam tasawuf.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Tasawuf
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab:تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.[1] Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yagn dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu: al-Shuffah (orang yang tinggal di serambi masjid nabi) , shaf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa yunani: hikmat), dan suf (kain wol).[2]
Adapun tentang definisi tasawuf atau sufi itu sendiri ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[3]
a.       Bisri bin Haris mengatakan bahwa, sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
b.      Sahl al-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan. Penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT dan baginya tidak ada beda antara harga emas dan pasir.
c.       Al-Junaid Al-Baghdadi, tokoh sufi modern mengatakan bahwa, tasawuf ialah membersihkan diri hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekankan sifat basyariah atau kemanusiaan, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah SWT, dan mengikuti syariah Rasulullah saw.
d.      Abu Qasyim Abdul Karim Al-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindarkan dari sifat meringankan ibadah.
e.       Ma’ruf Al-Karkhi mengatakan bahwa tasawuf ialah mengambil hakikat dan tidak tamak dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk.
Dari beberapa definisi tersebut, Zakaria Al-Ansari penulis tasawuf (852-925H) mencoba meringkasnya sebagai berikut:
“Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf adalah mensucikan diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan abadi”.
Jadi dengan kata lain tasawuf adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari islam. Spiritualitas ini mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan pada kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia serta lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah.[4]
2.2  Sejarah perkembangan tasawuf
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah sebagai berikut:
a.       Abad I dan II Hijriyah, Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Zuhud yang dalam ajaran-ajaran agama non Islam semula hanya merupakan usaha individu untuk tidak tertarik terhadap kesenangan duniawi perlahan-lahan seiring perjalanan waktu mulai diterima oleh umat Islam.[5] Sikap zuhud para sufi salafi merupakan awal kemunculan tasawuf, pada fase zuhud ini terdapat para sufi salafi yang lebih cenderung beribadah kepada Allah untuk mensucikan dirinya dari segala dosa dan kesalahan masa lalu.[6] Pada masa ini para sahabat juga mencontohi kehidupan Rasulullah yang serba sederhana, dimana hidupnya hanya semata-mata diberikan kepada Tuhan-Nya. Ciri lain yang terdapat pada masa ini adalah kemurniannya dibandingkan dengan kemurnian tasawuf di abad-abad sesudahnya.[7]
b.      Abad III dan IV Hijriyah, Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase asketisisme (kezuhudan), maka abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata–mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai (fana fi al-mahbub). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai (al-ittihad). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat. Dan pada masa ini tasawuf baik dalam pengertian maupun perilaku telah menyebar luas hampir ke seluruh wilayah islam tak terkecuali nusantara.[8]
c.       Abad V Hijriyah, Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali  atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan pemikiran maupun madzhap yang sangat hitorigen. al-Ghazali dikenal sebagai pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali dikomentari oleh muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi,”Ahirnya al-Ghazali berkonsentrasi pada hadits Nabi al-Mushthofa dan berkumpul bersama-sama ahli Hadits dan mempelajari kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim. Dia menerima tasawuf dari kelompok persia menuju tasawuf suuni. Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat Yunani dan menunjukkan kelemahan-kelemahan aliran batiniyyah. Di antara buku karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz Min al-Dlalal dan Ihya` Ulum al-Din. [9]
d.      Kejayaan tasawuf pada abad ke tujuh dan sesudahnya di kalangan bangsa arab, segala hal yang disandarkan pada Rasulullah baik secara hak maupun bathil, hal terebut masih memerlukan penyempurnaan karena kejayaan tasawuf pada abad sebelumnya terjadi di kalangan bangsa Arab dan non-Arab. Hal ini merupakan hasil dari suatu perkembangan alami yang terjadi dalam sejarah perkembangan budaya.[10]
e.       Tasawuf dan perkembangan agama dalam zaman modern
Barang kali tidak ada orang yang meragukan tentang betapa pentingnya peranan agama dalam konteks modern, dari sudut pandang ini, peranan agama minimal sebagai:
1.      Penyeimbang rohaniah sebagai akibat dari kemajuan hidup di segala bidang di zaman modern.
2.      Salah satu unsur peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh orang perorang.
Sesungguhnya demikian justru yang sangat menentukan potensi esensial yang terkandung dalam agama bagi manusia, kapan saja dan dimana saja potensial sensial agama yang dimaksud adalah dapat menciptakan rasa keterhubungan dengan yang diyakini sebagai Tuhan dalam sebuah bentuk pengalaman rohaniah yang mencerahkan batin. akhirnya, kalau hal ini diakitkan dengan tasawuf, maka sebenarnya, potensial spiritual yang terkandung dalam tasawuf memiliki peluang besar untuk mengisi fungsi pengembalian dua macam jati diri diatas, yaitu: jati diri manusia modern dan jati diri umat islam yang dicita-citakan.[11]
2.3  Ruang lingkup dalam tasawuf
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak tasawuf pada intinya adalah perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Pengertian ilmu akhlak tasawuf selanjutnya dikemukakan oleh Muhammad Al-Ghazali, menurutnya bahwa kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok. Dalam masyarakat barat akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun pengidentikkan ini tidak sepenuhnya tepat. Etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat.[12]
A.    Konsep tentang Tuhan dan manusia dan hubungan antara keduanya
Dalam tasawuf tradisional, konsep tentang Tuhan mengalami perkembangan sedemikian rupa. Mula pertama, khususnya pada zaman Rasulullah saw masih hidup, yang kemudian dilanjutkan dengan Khulafaurrasyidin, sebagaimana isi ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, Tuhan dipahami secara transenden mutlak yang artinya tidak ada suatupun yang menyamainya. Itu sebabnya manusia adalah makhluk dan Tuhan adalah Khaliq, dengan manusia yang bersifat jelas dan tegas.[13]
B.     Jalan tasawuf
Kalau mengikuti rincian Reynold A. Nicholson, maka jalan tasawuf yang terkenal itu ada beberapa, yaitu antara lain:
a.       Kefakiran, memiliki sedikit mungkin barang-barang duniawi dipandang secara meyakinkan sebagai yang sangat mungkin untuk mencapai keselamatan, arti kefakiran dalam arti sesungguhnya itu bukan berarti semata-mata kekurangan dalam kekayaan tapi bahkan tidak memiliki keinginan untuk tidak memiliki kekayaan.
b.      Penahanan diri, berarti memisahkan nafsu dari hal-hal yang telah dibiasainya, dengan demikian seseorang telah terdorong untuk melawan hawa nafsunya.
c.       Penyerahan diri kepada Tuhan, hal ini diwujudkan dalam sikap kepasifan total bagaikan jenazah di tangan petugas pemandi jenazah yang sedang mempersiapkan pemakaman. Ini bisa berarti sebagai gambaran ketidakpedulian terhadap diri sendiri.
d.      Zikir, caranya adalah dengan menyebut nama Tuhan secara berulang-ulang yang dilakukan dalam intonasi mekanis tertentu dan melakukan konsentrasi secara intens terhadap setiap bagian kata atau kalimat.[14]
Sedangkan menurut jalan yang ditempuh oleh para sufi, seseorang yang telah mencapai kesadaran lahir dan batin, serta telah berhasil mencapai titik keseimbangan dan keberpusatan, maka ia telah memenuhi syarat untuk membantu yang lainnya dan memancarkan kemajuan yang telah berhasil mereka capai.[15]
C.    Penghayatan tasawuf
Menurut Reynold A. Nicholson, pencapaian terakhir dari perjalanan panjang tasawuf adalah “keadaan bersatu” dengan Tuhan. Ada kesan kuat, bahwa “bersatu dengan Tuhan” itu menjadi tujuan. Karena hal tersebut yang menjadi tujuan, maka jalan untuk mencapai tujuan tersebut dicari-cari dan dibakukan sedemikian rupa, walaupun jelas bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mengajarkan seperti itu. Contoh agar dapat mencapai “derajat dan pengalaman rohani tertentu” maka harus dibaca wirid berulang kali atau semacamnya.[16]
2.4  Objek kajian dalam tasawuf
Islam adalah agama yang bersifat universal memberikan jawaban asasi terhadap berbagai kebutuhan manusia, baik lahiriyah, bathiniyah maupun individual serta kolektif. Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memfokuskan pada dimensi esoterik, yaitu pembersihan aspek rohani manusia sehingga dapat menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi tasawuf ini, seseorang dapat mengetahui tata cara melakukan pembersihan jiwa serta mengamalkan secara benar. Dari pengetahuan ini ia akan tampil sebagai seorang yang pandai dan terampil pada saat berinteraksi dengan orang lain atau saat melakukan aktifitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan dan tanggung jawab. Terdapat tiga sudut pandang yang digunakan oleh para ahli dalam mendifinisikan tasawuf, antara lain:
a.       Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas.
b.      Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.
c.       Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.[17]
Tujuan tasawuf adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifatullah” yaitu leburnya pribadi kepada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa keTuhanan. Yang dimaksud “fana” di sini adalah seluruh makhluk hati, dunia dan diri sendiri hilang sama sekali dari ingatan hati, karena ia tenggelam dalam kenikmatan ingat kepada Allah semata. Sedangkan tujuan tasawuf lainnya adalah “insan kamil”, yaitu manusia utama atau manusia yang karena adanya realisasi wahdah asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat-sifat dan keutamaan Tuhan padanya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti serta seluruh sifat yang berjalan dengan hati. Jadi sasaran tasawuf adalah akhlak dan budi perkerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah. Karena itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik dalam berhubungan dengan manusia ataupun dengan Tuhan. Seorang sufi Al Junaid dalam kitab Al Hikam mengatakan bahwa perilaku sufi itu harus melakukan empat hal, yaitu:
a.       Ia harus mengenal Allah, sehingga ia seperti tidak ada jarak dengan Allah.
b.      Ia harus melakukan semua akhlak yang baik menurut ajaran Nabi Muhammad dan meninggalkan akhlak yang buruk.
c.       Ia harus bisa mengendalikan hawa nafsunya sesuai dengan ajaran Allah.
d.      Ia harus merasa tiada memiliki sesuatu apa pun dan juga merasa tidak dimiliki siapapun kecuali Allah.[18]
Sedangkan tahapan-tahapan tasawuf ada empat yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran tasawuf untuk mencapai tujuan utama tasawuf, diantaranya:
a.       Syari’at yang meliputi perbuatan yang nyata dan tidak nyata (perbuatan hati). Sedangkan menurut Abu Bakar Ma’ruf mendifinisikannya sebagai segala macam perintah dan larangan Allah swt.
b.      Tarekat, yaitu jalan menuju kepada hakikat atau dengan kata lain pengamalan syari’at yang disebut sebagai “Al-Amal”.
c.       Hakikat, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan sebagai Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang mencari kebenaran. Hakikat yang didapatkan oleh sufi setelah lama menempuh tarekat, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya.
d.      Ma’rifat, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan tasawuf maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh sufi ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilalui secara berurutan tidak mungkin dilalui secara terbalik atau secara terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.[19]





BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Tasawuf adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari islam. Spiritualitas ini mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan pada kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia serta lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah.
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah. Kejayaan tasawuf pada abad ke tujuh dan sesudahnya di kalangan bangsa arab, segala hal yang disandarkan pada Rasulullah baik secara hak maupun bathil, hal terebut masih memerlukan penyempurnaan karena kejayaan tasawuf pada abad sebelumnya terjadi di kalangan bangsa Arab dan non-Arab. Hal ini merupakan hasil dari suatu perkembangan alami yang terjadi dalam sejarah perkembangan budaya.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak tasawuf pada intinya adalah perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Pengertian ilmu akhlak tasawuf selanjutnya dikemukakan oleh Muhammad Al-Ghazali, menurutnya bahwa kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok. Dalam masyarakat barat akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun pengidentikkan ini tidak sepenuhnya tepat. Etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat.
Sedangkan menurut jalan yang ditempuh oleh para sufi, seseorang yang telah mencapai kesadaran lahir dan batin, serta telah berhasil mencapai titik keseimbangan dan keberpusatan, maka ia telah memenuhi syarat untuk membantu yang lainnya dan memancarkan kemajuan yang telah berhasil mereka capai.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memfokuskan pada dimensi esoterik, yaitu pembersihan aspek rohani manusia sehingga dapat menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi tasawuf ini, seseorang dapat mengetahui tata cara melakukan pembersihan jiwa serta mengamalkan secara benar. Dari pengetahuan ini ia akan tampil sebagai seorang yang pandai dan terampil pada saat berinteraksi dengan orang lain atau saat melakukan aktifitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan dan tanggung jawab. Jadi sasaran tasawuf adalah akhlak dan budi perkerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah. Karena itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik dalam berhubungan dengan manusia ataupun dengan Tuhan.
Keempat tahapan (syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat) yang harus dilalui oleh sufi ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilalui secara berurutan tidak mungkin dilalui secara terbalik atau secara terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.
3.2  Saran
Dengan pengetahuan tentang tasawuf ini diharapkan agar kita senantiasa bertindak dan berprilaku yang seimbang sesuai dengan ajaran yang ada dalam agama islam supaya kita bisa selamat dunia akhirat dan memperoleh kebahagiaan yang sejati. 
DAFTAR PUSTAKA

Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Penerbit Erlangga. Jakarta : 2006.
Muhammad, Miftahul Luthfi. Tasawuf Implementatif. Duta Ikhwana Salama Ma’had TeeBee. Surabaya : 2004.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta : 2000.
Haeri, Fadhlalla. Dasar-Dasar Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta : 2003.
Ibrahim, Muhammad Zaki. Tasawuf Hitam Putih. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Solo : 2006.
K. Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta : 2004.
Mahjuddin. Kuliah Akhlak Tasawuf. Penerbit Kalam Mulia. Jakarta : 1991.
Tim Penyusun Studi Islam. Pengantar Studi Islam. IAIN Sunan Ampel PRESS. Surabaya : 2004.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme
http://moethans.wordpress.com/2009/10/14/12/
http://barudaktea.multiply.com/journal/item/16/asal-usul_dan_sejarah_perkembangan_Tasawuf
http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
http://greensite-tugaskoe.blogspot.com/2008/03/ahklak-tasawuf.html
http://tasawufislam.blogspot.com/2009/05/sejarah-perkembangan-tasawuf-salafi.html



________________________________________
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme
[2] http://moethans.wordpress.com/2009/10/14/12/
[3] K. Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 28.
[4] Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 2.
[5] http://barudaktea.multiply.com/journal/item/16/asal-usul_dan_sejarah_perkembangan_Tasawuf
[6] http://tasawufislam.blogspot.com/2009/05/sejarah-perkembangan-tasawuf-salafi.html
[7] Mahjuddin. Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Kalam Mulia, 1991), hlm. 61-71.
[8] Miftahul Luthfi Muhammad. Tasawuf  Implementatif , (Surabaya : Duta Ikhwana Salama Ma’had TeeBee, 2004), hlm. 3.
[9] http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
[10] Mohammad Zaki Ibrahim. Tasawuf  Hitam Putih , (Solo : Tiga Serangkai, 2006), hlm. 11.
[11] Mohammad Damami. Tasawuf  Positif , (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 218-223.
[12] http://greensite-tugaskoe.blogspot.com/2008/03/ahklak-tasawuf.html
[13] Mohammad Damami. Op. Cit, hlm. 181.
[14] Ibid.
[15] Syekh Fadhlalla Haeri. Dasar-Dasar Tasawuf , (Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2003), hlm. 47.
[16] Mohammad Damami. Op. Cit, hlm. 188.
[17] Tim Penyusun Studi Islam. Pengantar Studi Islam , (Surabaya : IAIN Sunan Ampel PRESS, 2004), hlm. 173-176.
[18] K. Permadi. Op. Cit, hlm. 89.
[19] Mahjuddin. Op. Cit, hlm. 106-118.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

my lovely