blog ini di khususkan buat penambahan cakrawala berfikir kita tentang IPTEK. dan benar milik hendri. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

TEORI POSITIVISME

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
      Kegagalan dari pada para ahli pemikir tentang negara dan hukum dalam menyelidiki dan menerangakan asal mula negara, hakekat negara, serta kekuasaan negara, menimbulkan sikap skeptis terhadap negara. Dan orang lalu lebih suka menentukan  sikap positif terhadap negara. Kebanyakan orang telah kehilanagan nafsunya untuk mempelajari dan
menyelidiki dasar-dasar negara pokok. Kecenderungan timbul untuk hanya membatasi diri kepada pelajaran hukum positif, selain hal ini telah terdapat pada kebanyakan negara, juga hukum positif akan lebih mudah dipelajari. Hal ini akan memberikan  pegangan yang kuat, karena bukankah dari undang-undang.
      Hal ini akan lebih memberikan pegangan yang kuat, karena bukankah dari undang-undang dasar serta undang-undang organiknya dapat dibaca dan dipelajari, dari pada orang berpikir secara abstrak dan tidak ada ketentuan sama sekali,yang akibatnya tidak lain hanyalah  kekacauan dan peperangan. Demikianlah ilmu Negara lambat laun tetapi pasti menarik dirinya, dan datang mengunjungi tinjauan-tinjauan ilmu pengetahuan teoritis dan histories. Ia menjadi relastivistis, negative serta skeptis (eklektis berarti berpendirian secara luas, atau dalam hal ini memilih dengan secara leluasa dari berbagai-bagai sistem atau aliran filsafat).
1.2.Rumusan masalah
Apa yang dimaksud dengan teori positivisme ?









BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  TEORI POSITIVISME
            Kecenderungan timbul untuk hanya membatasi diri kepada pelajaran hukum positif, selain hal ini telah terdapat pada kebanyakan negara, juga hukum positif akan lebih mudah dipelajari. Hal ini akan memberikan  pegangan yang kuat, karena bukankah dari undang-undang.
            Hal ini akan lebih memberikan pegangan yang kuat, karena bukankah dari undang-undang dasar serta undang-undang organiknya dapat dibaca dan dipelajari, dari pada orang berpikir secara abstrak dan tidak ada ketentuan sama sekali,yang akibatnya tidak lain hanyalah  kekacauan dan peperangan. Demikianlah ilmu Negara lambat laun tetapi pasti menarik dirinya, dan datang mengunjungi tinjauan-tinjauan ilmu pengetahuan teoritis dan histories.
            Teori positivisme menyatakan bahwa tidak perlu mempersoalkan asal mula negara, sifat serta hakikat negara dan sebagainya, karena kita tidak mengalami sendiri. Timbul atau adanya negara sekarang ini bukanlah merupakan suatu kelahiran yang asli, tapi hanya merupakan suatu kelahiran kembali dari negara yang telah ada terdahulu[1]. Sehingga aliran positivisme mengajarkan agar dalam membicarakan negara dilakukan sebagaiman apa adanya.
2.2. HANS KELSEN
            Kelsen seorang pemikir besar tentang negara dan hukum dari Austria yang kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat. menurut Kelsen, ilmu negara harus menarik diri atau melepaskan pemikirannyan secara prinsipil dari tiap-tiap percobaan untuk menerangkan negara serta bentuk-bentuknya secara kausal (sebab akibat) yang bersifat abstrak, dan mengalihkan pembicaraan atau pemikiran secara yuridis murni[2]. Tiap-tiap negara hanya dapat dipahami di dalam sistem hukumnya sendiri. Menurut Kelsen, “ ilmu Hukum tidak perlu lagi mencari dasar terbentuknya negara karena kelahiran negara hanyalah merupakan suatu kenyataan belaka”.
Teori positivisme menyatakan bahwa tak usah mempersoalkan asal mula Negara dan sebagainya, karena kita tidak mengalami sendiri[3]. Jadi tanpa menyinggung-nyinggung tentang asal mula Negara, sifat serta hakekat Negara. Kalau sekarang timbul atau ada Negara itu bukanlah merupakan suatu kelahiran yang asli, tetapi hanya merupakan kelahiran kembali dari pada Negara yang ada pada jaman dahulu. Maka aliran positivisme lalu mengatakan, kalau kita akan membicarakan Negara katakanlah saja Negara itu sebagaimana apa adanya. Tokoh daripada aliran ini antara lain adalah Hans Kelsen.
Hans Kelsen adalah seorang ahli pemikir besar tentang Negara dan hukum dari Austria yang kemudian menjadi warga Negara Amerika. Bukunya antara lain, Allegemeine Staatsbegriff terbit pada tahun 1922. ia mendirikan sekolah Wiena.
Pada hakekanya ajaran Hans Kelsen melangkah lebih jauh. Menurut Hans Kelsen[4]. Bahwa ilmu Negara itu harus menarik diri atau melepaskan pemikirannya secara prinsipil dari tiap-tiap percobaan untuk menerangkan Negara serta bentuk-bentuknya secara kausal atau sebab musabab yang bersifat abstrak. Dan mengalihkan pembicaraannya atau pemikirannya secara yuridis murni. Maka dari itu tiap-tiap Negara hanya dapat dipelajari dan dipahami di dalam system hukumnya itu sendiri. Ursprungsnorm dari tiap-tiap Negara telah menetapkan dan membatasi konstruksi atau bentuknya.
Sedangakan masalah atau pernyataan tentang timbulnya atau adanya Ursprungsnorm adalah masalah atau persoalan yang sifatnya meta yuridis, ini tidak termasuk dalam lapangan atau obyek pembicaraan filsafat hukum. Jadinya kata Hans Kelsen : ilmu hukum tidak perlu lagi mencari dasar Negara, kelahiran Negara untuknya hanya merupakan suatu kenyataan belaka, yang tidak dapat diterangkan dan ditangkap dalam sebutan yuridis.
Kranenburg mengatakan, bahwa menarik hati dan biasanya sangat pintar jalannya pertumbuhan serta perkembanagn pikiran, yang membawa kesimpulan yang bersifat skeptis dan negatif ini[5]. Negatif bukanlah sebenarnya ini berarti suatu penariakn diri ilmu Negara sebagai ilmu yang sungguh-sungguh. Melainkan dilepaskannyalah semua usaha percobaan untuk menerangkan tugas pokok tiap ilmu pengetahuan. Dan menyerahkannya kepada ilmu lain, yang secara tegas dipisahkan dari ilmu Negara dan ilmu hukum tatanegara, ialah sosiologi. Akan tetapi anehnya dengan segera dinyatakan tidak dapat diterangkan oleh ilmu itu, oleh karena sosiologi ini tidak pernah dapat mengerti ataupun dapat menyelidiki apalagi menerangkannya. Sebab sosiologi hanya secara pokok dapat bekerja dengan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala. Kemudian diterangkan secara panjang lebar oleh Kranenburg hubungan antara ilmu Negara dengan sosiologi[6].
Selanjutnya Hans Kelsen mengatakan bahwa Negara itu sebenarnya adalah merupakan suatu tertib hukum[7]. Tertib hukum dimana timbul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaimana orang di dalam masyarakat atau Negara itu harus bertanggang jawab terhadap perbuatan-perbuatannya.
Peraturan-peraturan hukum tadi sifatnya adalah mengikat, artinya bahwa setiap orang itu harus mentaatinya, dan harus menyesuaikan sikap, tingkah laku dan perbuatannya itu harus mentaatinya, dan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Malahan orang dapat dipaksakan untuk mentaatinya, kerena bila tidak mentaatinya ia dapat dijatuhi sanksi. Jadi sebenarnya, Negara itu adalah suatu tertib hukum yang memaksa.
Tertib hukum itu terdiri dari suatu rangkaian peraturan-peraturan hukum yang beraneka warna jenisnya, bentuknya serta banyak sekali jumlahnya, tetapi semua itu berakar pada suatu sumber yang disebut norma dasar, maka meskipun peraturan-peraturan hukum tersebut satu sama lain berbeda, tetapi merupakan satu kesatuan[8]. Dengan demikian dapatlah dikatakan ada tertib hukum apabila peraturan-peraturan hukum yang beraneka warna itu, serta yang jumlahnya banyak sekali itu dapat didasarkan pada satu sumber yang dinamakan norma dasar.
Karena peraturan-peraturan hukum tadi sumbernya sama, maka masing-masing peraturan hukum tadi satu sama lain ada hubungannya yang erat. Juga suatu peraturan hukum menjadi dasarnya daripada peraturan hukum yang lebih rendah tingkatannya, dan yang terakhir menjadi dasar pula daripada peraturan hukum yang lebih rendah lagi tingkatannya. Demikianlah seterusnya sehingga ada urut-urutan dalam tingkatannya, hirarki, dari yang paling rendah tingkatannya sampai pada yang paling tinggi, dan yang tertinggi tingkatannya itu adalah yang disebut norma dasar tadi. Dan kalau peraturan-peraturanhukum yang banyak sekali itu, serta yang beraneka warna jenisnya itu berlakunya berdasarkan pada satu norma dasar, maka dapat dikatakan ada tertib hukum, maka ada Negara.
Dengan demikian Hans Kelsen, kita tidak usah payah-payah lagi mempersoalkan tentang Negara, dan hukum itu tinggi yang man, atau manakah yang berdaulat. Karena keduanya adalah sama. Lagi pula kita tidak usah mempersoalkan asal mula Negara, hakekat Negara serta kekuasaan Negara[9].
Demikianlah gambaran secaragaris besar daripada ajaran aliran positivisme yang hanya mau menerima, menerangkan serta menghadapi Negara dalam kenyataannya saja.
Jadi menurut Hans Kelsen Negara itu identik dengan hukum, namun demikian Hans Kelsen  juga mengakui bahwa Negara itu terikat oleh hukum. Mengapa demikian ? karena menurut Hans Kelsen Negara itu adalah suatu Zwangs Ordnung, suatu tertib hukum, atau suatu tertib masyarakat yang bersifat memaksa, karena sifat memaksa itulah maka didalam Negara itu hak pemerintah dan kewajiban tunduk, juga hukum itu adalah Zwangs Ordonung, maka kesimpulannya adalah bahwa Negara itu identik dengan hukum.
Bandingkan pendapat Hans Kelsen tersebut di atas, tentang definisi Negara dengan pendapat H.J. Laski. Laski mengatakan bahwa Negara sebagai sistem peraturan hukum, adalah suatu parallelogram sementara dari Negara itu. Undang-undangnya hanya berlaku dalam pengertian, bahwa dalam satu saat yang tertentu undang-undang itu dapat dilaksanakan. Bilamana kita hendak membuktikan syahnya undang-undang itu atas dasar yang lain daripada asal semula, maka kita melampui batas lingkungan hukum dan kita berada di bahwa faktor-faktor yang lain[10].
Pengertian Negara tersebut di atas adalah semata-mata dilihat dari segi hukum, jadi suatu tinjauan secara yuridis, yang tentunya akan tidak mempunyai arti atau akan tidak berlaku di luar tinjauan secara yuridis.
Kesimpulan
ilmu negara harus menarik diri atau melepaskan pemikirannyan secara prinsipil dari tiap-tiap percobaan untuk menerangkan negara serta bentuk-bentuknya secara kausal (sebab akibat) yang bersifat abstrak, dan mengalihkan pembicaraan atau pemikiran secara yuridis murni. Tiap-tiap negara hanya dapat dipahami di dalam sistem hukumnya sendiri. Menurut Kelsen, “ ilmu Hukum tidak perlu lagi mencari dasar terbentuknya negara karena kelahiran negara hanyalah merupakan suatu kenyataan belaka”. Jadi suatu tinjauan secara yuridis, yang tentunya akan tidak mempunyai arti atau akan tidak berlaku di luar tinjauan secara yuridis.






















Daftar pustaka
Djokosoetono, 2006, ilmu negara, Jakrta, in-hill-co
I Gede Pantja Astawa, ilmu negara dan teori negara,(Bandung : PT. Refika Aditama, 2009).
Soehino, ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1996)



[1] Djokosoetono, ilmu negara, Jakrta, in-hill-co, 2006, hlm.109
[2] I Gede Pantja Astawa, ilmu negara dan teori negara,(Bandung : PT. Refika Aditama, 2009). Hlm 85
[3] Soehino, ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm 138
[4] Ibid. hlm 139
[5] Ibid, hlm 139
[6] Ibid
[7] Ibid. hlm 140
[8] ibid
[9] ibid
[10] Ibid, hlm 141

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

my lovely