blog ini di khususkan buat penambahan cakrawala berfikir kita tentang IPTEK. dan benar milik hendri. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Hukum Islam pada Masa Tabi’in”.
            Dalam penyusunan makalah ini penulis mendapat bantuan, dukungan dan arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
  1. Bpk Syamsuri, M.HI. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan pada penulis dalam penyusunan makalah ini.
  2. Bapak/Ibu dosen di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang telah mengajar dan membimbing penulis.
  3. Rekan-rekan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang telah memotivasi penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
            Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis mengundang berbagai pihak untuk memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga makalah ini bermanfaat. Amien.


Surabaya, 19 Juni 2011

Penulis



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
1.2 RUMUSAN MASALAH
BAB II PEMBAHASAN
2.1 PENETAPAN HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
2.2 KELOMPOK RASIONALIS DAN TRADISIONALIS
BAB III PENUTUP
1.1  KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
           








BAB I
PENDAHULUAN

1.2        Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang benar dan berasal dari Allah. Agama yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Dan ruang lingkup keberlakuan ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah untuk semua umat manusia, dimanapun mereka berada. Islam dapat diterima oleh seluruh manusia di muka bumi ini. Islam dapat menjadi pedoman hidup dan menyelesaikan persoalan kehidupan masyarakat modern.
Hukum sebagai salah satu aspek hidup dan kehidupan manusia menurut teori hukum islam essensinya adalah religius. Sejak awal mula sejarah islam hukum bersumber pada Syari’ah (wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW.). dan setelah Nabi wafat hukum islam yang ditetapkan dinamakan fiqh.
Dan dalam pembahasan hukum islam, terdapat masa-masa dimana terdapat penetapan hukum islam. Melalui makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai Hukum Islam pada masa Tabi’in.
1.3        Rumusan Masalah
Melalui latar belakang diatas, dapat diambil rumusan maslahnya, adalah sebagai berikut
1.      Bagaimanakah penetapan hukum islam pada masa Tabi’in?
2.      Apakah yang dimaksud dengan kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) dan bagai mana metodologinya?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Penetapan hukum islam pada Masa Tabi’in
Setelah masa kholifah yang ke empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in yang pemerintahnnya dipimpin Bani Umayyah.[1] Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi dengan permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam yang semakin luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks. Dalam hal ini, pemeluk Islam bukan hanya dari bangsa Arab, tetapi sudah berbaur dengan bangsa lain yang berbeda-beda bahasa dan tradisinya.
 Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan umat Muslim terhadap sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, tidak lagi sesempurna generasi sebelumnya. Di samping itu, permasalahan kehidupan yang memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menuntut pelaksanaan ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para Sahabat. Meliputi:
1.      al-Qur’an
2.      Sunnah
3.      Mereka mengikuti ijma’ Sahabat. Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari Sahabat yang dianggap kuat dalilnya.
4.      Di samping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu, mereka menggunakan qiyas, jika mereka menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan dalam ijtihad.
Di antara faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam pada masa ini, yaitu sebagai berikut:
  1. Perpecahan di kalangan umat Islam
Pada awal masa ini, umat Islam mengalami berbagai gejolak politik yang menyebabkan munculnya golongan-golongan. Pemberontakan yang paling serius adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, dan kelompok Abdullah bin Zubair. Persaingan dan pertikaian terus-menerus antar golongan yang saling bertentangan tersebut dalam memperebutkan kedudukan politik mengakibatkan kekacauan dalam pemahaman keagamaan.
  1. Penyimpangan para khalifah Bani Umayyah
Para khalifah Umayyah memperkenalkan sejumlah praktek yang lazim berlaku di negeri-negeri non-Muslim pada waktu itu, seperti Byzantium, Persia dan India. Banyak dari praktek-praktek tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fiqh pada periode sebelumnya. Sebagai contoh, bait al-mal digeser menjadi kepemilikan pribadi para khalifah dan keluarganya, dan pajak yang tidak diperbolehkan Islam diberlakukan untuk meningkatkan keuntungan mereka. Musik, gadis-gadis penari, tukang sulap, para ahli nujum, secara resmi diperkenalkan sebagai bentuk hiburan istana kekhalifahan
Pada kekuasaan Yazid sebagai putra mahkota yang ditetapkan oleh khalifah Muawiyah pada tahun 679 M, khalifah diubah menjadi jabatan turun-temurun. Ikatan fiqh-negara dihancurkan dan faktor pemersatu madzhab yang cukup penting pun lenyap. Akibatnya, sebagian khalifah berupaya memanipulasi fiqh untuk menghukumi penyimpangan-penyimpangannya. Untuk memberantas smua itu, dan memelihara fiqh otentik untuk generasi berikutnya, para ulama mulai mengumpulkan dan menghimpun fiqh yang berasal dari periode sebelumnya.
  1. Persebaran para ulama ke daerah-daerah luar
Banyak dari para ulama pada masa ini yang melarikan diri dari pusat-pusat pemerintahan Bani Umayyah untuk menghindari konflik, kekacauan, serta pertikaian dari berbagai golongan. Hal ini mengakibatkan rusaknya prinsip ijma’. Seiring dengan tersebarnya para ulama ke seluruh pelosok wilayah Muslim yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lain, maka kesepakatan pandangan tentang hukum menjadi mustahil untuk disatukan. Hal seperti ini pada akhirnya memicu tumbuhnya ijtihad-ijtihad individual dari para ulama ketika mereka berhadapan dengan keanekaragaman adat istiadat, cara hidup dan permasalahan baru di wilayah mereka. Dan pada perkembangan berikutnya, kondisi di atas mempengaruhi lahirnya berbagai madzhab di masa Tabi’in.
  1. Maraknya praktik pemalsuan hadits
Periwayatan hadits-hadits meningkat ketika kebutuhan informasi juga meningkat. Karena negara telah berhenti bersandar pada Sunnah Nabi Saw, para ulama dengan beragam kapasitasnya bergerak mencari laporan-laporan individual tentang Sunnah yang diriwayatkan oleh para Sahabat dan murid-muridnya untuk membuat ketentuan hukum. Pada saat yang sama berkembang fenomena baru, yaitu untuk pertama kalinya hadits-hadits palsu, baik yang berupa ucapan maupun tindakan dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Dengan adanya peristiwa ini, untuk pertama kalinya mulai dilakukan upaya pengumpulan hadits dan mulai berkembang ilmu tentang kritik hadits, yang kemudian membantu para ulama dalam melakukan ijtihad. Dengan cara inilah, bangunan fiqh yang salah disusun, dan lebih jauh lagi, ditopang dengan keputusan-keputusan fiqh yang dibuat oleh para ulama yang telah menolak hadits-hadits yang benar sebab ketentuan-ketentuan fiqh itu hanya mereka ketahui lewat para pembuat hadits di wilayahnya.

2.2Kelompok Rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan Kelompok Tradisionalis (ahlu al-hadits)
Dalam situasi dan kondisi  yang penuh pergolakan dan kekacauan inilah, para tokoh di kalangan Tabi’in berusaha mengembangkan metodologi hukum Islam yang secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
A.    Kelompok Rasionalis (ahlu al-ra’yi) [2]
Aliran ini aliran rasional  berkembang di Irak. Secara umum, yang dimaksud dengan aliran rasional (ahlu al-ra’yi) adalah aliran ijtihad yang berpandangan bahwa hukum syara’ merupakan sesuatu yang dapat ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan doktrinnya yang mengacu pada kemaslahatan kehidupan manusia.
Dalam hal ini, para mujtahid rasionalis mengkaji illat untuk setiap norma hukum dengan melihat pada sisi yang memungkinkannya untuk memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga mereka dapat leluasa melakukan kajian analogis dengan memelihara kepentingan kehidupan manusia dan masyarakat secara keseluruhan. Tradisi kajian hukum seperti ini telah dimulai oleh Umar bin Khattab di Madinah, dan Kemudian kajian hukum seperti ini juga diikuti oleh Abdullah bin Mas’ud yang mengembangkannya di Irak, setelah diutus oleh khalifah Umar untuk menjadi wazir Kufah yang sekaligus menjadi guru tempat berlajar dan bertanya bagi penduduknya.
 kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) lebih berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan mashlahah dalam kehidupan manusia.
Dalam metodologinya, kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) berani mengembangkan alternatif-alternatif hukum sebelum ditetapkan dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan antisipatif. Mereka sangat selektif dalam pemakaian hadits, dengan meneliti rangkaian sanadnya, ke tsiqahan dan jumlah perawinya.
 Kelompok ini memiliki corak kajian yang anthroposentris dengan penggunaan qiyas, istihsan, maslahah-nya. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa asumsi dasar dalam pandangan mereka, antara lain yaitu,
1.      nash-nash syari’ah sifatnya terbatas, sedang peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nash-nya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu.
2.      setiap hukum syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang mujtahid ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illat-nya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illat-nya.
Kelompok rasional (ahlu al-ra’yi) dalam proses ijtihad lafdzi, senantiasa berusaha memberikan makna terhadap nash-nash hukum dalam konotasi yang realistik.
B.     Kelompok Tradisionalis (ahlu al-hadits)[3]
Aliran ini berkembang di Hijaz, Makkah dan Madinah. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya ulama tradisionalis (ahlu al-hadits) di Irak dan ulama rasionalis (ahlu al-ra’yi) di kawasan Hijaz.
Aliran tradisional (ahlu al-hadits), yaitu mereka yang dalam ijtihad fiqhnya senantiasa merujuk nash-nash al-Qur’an dan Sunnah, serta tidak mau melangkah jauh dari keduanya, tidak senang melakukan kajian nalar rasional, dan sangat berhati-hati dalam berfatwa.
Mereka berpendapat bahwa yang berhak menetapkan hukum itu hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, ketentuan-ketentuan hukum hanya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Maka, berbagai persoalan aktual harus senantiasa dikembalikan pada keduanya. Untuk itulah mereka memperluas pemakaian hadits, termasuk hadits-hadits ahad sejauh memenuhi persyaratan sebagai sebagai hadits yang ma’bul bih.
Tradisi kajian hukum dengan prinsip di atas telah dimulai oleh para sahabat yang berpikir idealistik dan amat berhati-hati dalam berfatwa mengenai soal hukum, antara lain adalah Abdullah bin Umar, ‘Aisyah, dan Ibnu Abbas. Kemudian diikuti oleh para Tabi’in yang mayoritas berdomisili di Madinah, antara lain Sa’id ibnu Musayyab dan tokoh-tokoh lainnya.
Dalam metodologinya lebih berorientasi untuk memahami kemauan-kemauan syara’ dengan doktrin-doktrin syariahnya serta berusaha untuk mengaplikasikan doktrin tersebut dalam kehidupan sosial.
Dalam melakukan ijtihadnya, kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) hanya bertumpu kepada qiyas untuk ijtihad aqli-nya, dan beberapa kaidah dalam ijtihad lafdzi. Secara tegas, mereka menyatakan bahwa ijtihad adalah qiyas, dengan alasan bahwa Allah telah menentukan semua ketentuan hukum untuk perbuatan-perbuatan mukallaf.
Dalam proses ijtihad lafdli, kelompok tradisional (ahlu al-hadits) senantiasa memberikan makna apa adanya sesuatu apa yang dikehendaki nash itu sendiri.









BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam melakukan ijtihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para Sahabat. Meliputi:
  1. Al-Qur’an
  2. Sunnah
  3. Ijma’
5.      Qiyas, apabila tidak mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan dalam ijtihad.
para tokoh di kalangan Tabi’in berusaha mengembangkan metodologi hukum Islam yang secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
  1. Kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi)
  2. Kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) dengan corak metodologis yang khas dan pada masa berikutnya menghasilkan mahdzab-mahdzab dalam islam.








DAFTAR PUSTAKA

Rosyada, Dede. 1996.  Hukum Islam dan Pranata Sosial: Dirasah Islamiyah III, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Rachman, Ibnu. 2001. Hukum Islam. Yogyakarta: Philosophy Press.
Sirry, Mun’im A.. 1995. Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti.
Muh Zuhri, Muh. 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.




[1] Ibnu Rachman, Hukum Islam, (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), hlm 59.
[2] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm 69.
[3] Muh Zuhri,….hlm 67.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

my lovely