blog ini di khususkan buat penambahan cakrawala berfikir kita tentang IPTEK. dan benar milik hendri. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Perspektif Sosiologi Islam Tentang Konflik Sosial

BAB II
PEMBAHASAN
Perspektif Sosiologi Islam Tentang Konflik Sosial

A.  Konflik Menurut Para Ahli
Konflik merupakan keadaan dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses
perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure unsurnya.dan melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi social serta menilai keteraturan dalam masyarakat itu hanyalah di sebabkan karena adanya tekanan atau paksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep sentral dari teori ini adalah wewenag dan posisi. Intitesisnya bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi factor yang menentukan konflik social secara sistematis. Kekuasaan dan wewenang yang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur, karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat di sebut oleh dahrendorf sebagai : persekutuan yang terkoordinasi secara paksa ( imperatively coordinate dassociations ).[1]

Menurut Karl Marx Teori konflik  Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi..  Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Menurut dahrendorf Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. Diantaranya:
a)      Dekomposisi modal
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga.
b)      Dekomposisi Tenaga kerja
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.
c)      Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai.

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1.        Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2.        Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. [2]
Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contohnya dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yyang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan klienya, tetapi setelah meinggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu. Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser (1956: 62) mengatakan dalam buku Sosiologi Kontemporer halaman 113, yaitu:
Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relative bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.
Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Misalnya konflik antara suami dan istri, sepasang kekasih, dll.
Coser (1956: 72) mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.

B.  Konflik dalam pandangan islam
Akhir-akhir ini banyak diperbincangkan, didiskusikan dan diperdebatkan oleh lapisan masyarakat, mulai dari kelompok yang tidak dapat membaca dan menulis, mereka yang duduk di bangku pendidikan, sampai mereka, para birokrat, yang memegang kekuasaan (pemerintah). Masalah tersebut, yakni, terjadinya konflik yang berkepanjangan di hampir seluruh wilayah nusantara, baik yang mengarah pada persoalan kriminitas, politik sampai hal-hal yang berbau SARA.
Hal tersebut sebagai indikasi lahirnya benih-benih disintegrasi di bumi pertiwi ini jika tidak segera direspon secara memadai. Persoalan ini dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat terkait dengan perjalanan bangsa menuju kehidupan yang lebih maju (modern) demi menjawab tantangan era globalisasi yang tidak lama lagi akan memasuki millenium ketiga, yang ditandai dengan perdagangan bebas. Dengan latar belakang konflik, tulisan ini diharapkan dapat menjadi koleksi pengetahuan politik dan kepekaan masyarakat dalam menghadapi problematika yang sedang atau tengah dihadapi, sehingga akan mampu mewujudkan perubahan sosial ke arah yang lebih mapan.
Konflik adalah salah satu unsur pembawaan dan keberadaannya sangat urgen sekali dalam kerangka peningkatan kualitas kehidupan manusia. Kehidupan tidak dapat berjalan dengan tegak tanpa ada konflik. Ia sangat penting bagi manusia yang memiliki struktur tubuh yang terdiri dari akal, roh dan raga, yang masing-masing memiliki tuntutan serta keinginan yang beraneka ragam. Keinginan manusia tidak terbatas; manusia menuntut dibebaskan dari berbagai penyakit, malapetaka dan kekuatan alam agar ia dapat hidup. Mereka pun menuntut kehormatan-kehormatan lain bagi kehidupan, yang pada akhirnya justeru menghadapkan mereka pada realitas yang sangat pelik dan kompleks; Satu sisi, di hadapannya telah hadir keburukan-keburukan yang sudah menjadi hakekat alam, namun di sisi lain juga ada kebaikan-kebaikan yang bakal menghadapi keburukan itu, sehingga mereka dapat bertahan hidup sekaligus menguasainya. Tapi persoalannya, apakah mungkin manusia mengenyahkan keburukan dari kehidupan praktis? Lihat saja komunisme, yang mengaku bahwa mereka telah menyediakan sarana prasarana penghasilan demi menghindari timbulnya konflik, akan tetapi harapan mereka tak pernah terwujud selain dari usaha untuk memiliki sarana penghasilan.
Di mana-mana orang komunis dituduh hendak menguasai (mendominasi) kekuasaan meskipun ia telah dididik dengan doktrin komunisme.
Oleh karena itu, Allah membekali nilai-nilai moral pada setiap makhluk dalam kepentingan-kepentingannya sendiri. Selagi konflik masih dibutuhkan oleh manusia, maka mereka pun dibekali oleh Allah dengan kemampuan untuk berkonflik, baik dalam fisik, roh maupun akalnya, dan sekaligus kemampuan untuk mencari solusinya.
Adanya kesamaan dan pertentangan untuk melahirkan sebuah perubahan sosial diantara manusia adalah sebuah keniscayaan. Hal itu selamanya tidak akan bisa dielakkan, sehingga yang perlu bagi manusia adalah bagaimana cara mereka memadukan dan mencari solusi agar konflik tersebut tidak justru menimbulkan kehancuran (kerusakan), namun sebaliknya dapat membantu manusia mewujudkan keseimbangan dan tumbuhnya pola introspeksi diri dalam sebuah komunitas masyarakat.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik terjadinya konflik. Dalam Islam, konflik bukanlah sebagai tujuan; ia sebagai sarana untuk memadukan antara berbagai hal yang saling bertentangan untuk membebaskan kehidupan manusia dari kepentingan individual dan dari kejelekan-kejelekan, sehingga secara berimbang mereka dapat dibawa menuju je jalan yang terang. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman, yang artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.”
Dari uraian di atas, maka dapat disebutkan secara sederhana bahwa timbulnya gejala konflik dalam rangka meningkatkan taraf hidup, baik dalam skala makro maupun mikro, adalah sebuah keharusan. Selain itu, etika (akhlak) dalam mewujudkan cita-cita tersebut harus selalu diperhatikan dengan penuh antisipasi, karena dengan bekal ini pergolakan apapun dengan dorak bagaimanapun akan dapat dikendalikan dengan baik, dan dengan sendirinya akan dapat medatangkan kondisi yang lebih baik (maslahah).
Kalau benar anggapan bahwa perubahan sosial mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya sebuah konflik, maka pertanyaannya adalah bagaimana corak (sifat) konflik yang dapat melahirkan sebuah perubahan sosial yang dapat menjamin kehidupan baru secara lebih baik?
Dalam membahas terjadinya perubahan dalam kaitannya dengan sebuah konflik, akan menggunakan kacamata Islam. Dalam kaitannya dengan kehidupan negara kita, dapat diambil sebuah kasus yang pernah terjadi pada pertengahan tahun 1997 (dan saat ini kita belum mempunyai solusi dan prediksi kapan ini akan berakhir) tentang gambaran perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk. Kondisi seperti ini akhirnya berkembang dengan merebaknya isu-isu yang disertai dengan banyaknya gugatan, hujatan dan tuntutan seluruh rakyat kepada pemerintah yang diklaim sebagai biang keladi timbulnya krisis tersebut. Hal ini karena pemerintah dianggap telah jauh melenceng dari rel yang telah direncanakan dalan membuat suatu kebijakan.
Seiring dengan berlanjutnya krisis tersebut, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan yang dianggap mampu menjadi salah satu alternatiff yang dapat menetralisir gejolak diatas, dengan melahirkan kembali konsep –lama– pembangunan ekonomi “kerakyatan”. Kebijakan ini pada gilirannya diharapkan dapat merubah watak, budaya dan integritas bangsa dalam rangka menuju sebuah kehidupan yang modern. Akan tetapi, ide untuk mewujudkan modemisasi ditengah heterogenitas budaya –bila tetap dengan pola memaksakan kehendak tersebut– sudah barang tentu akan menyebabkan timbulnya konflik yang tidak akan dapat dihindarkan. Hal ini dikarenakan sistem sosial dan sistem budaya setiap masyarakat yang sedang “berkembang” merupakan suatu ajang (medan) pertempuran yang abadi, di mana kekuatan modernitas dan tradisi bertemu. Pada akhirnya, konflik ini akan melahirkan ketegangan-ketegangan, ketidak mufakatan dan ketidak seimbangan diantara individu atau kelompok yang semula bersatu, mufakat dan seimbang (equilibrium).
Sebenarnya, untuk menciptakan modernisasi tidaklah dapat dipisahkan dari konflik yang bermula dari kritik. Hanya saja, yang diajarkan oleh syari’at Islam adalah konflik yang masih dalam taraf pelaksanan al-akhdzu bi akhaffi dlararain (mengambil dampak yang lebih kecil diantara dua aspek negatif), karena modernisasi adalah alternatiff yang terbaik untuk meningkatkan taraf kesejahteraan (kemaslahatan) kehidupan manusia. Namun pada sisi yang lain, keinginan tersebut akan berbenturan dengan kendala-kebdala yang ada, baik yang berhubungan dengan orang-orang (kelompok anti modernisasi) maupun dengan aspek geografis. Ini adalah justru pilihan yang sangat sulit. Satu sisi kita harus mampu mengimbangi dan mengikuti perkembangan zaman –dalam rangka membentuk pembangunan yang kuat dan kokoh– yang telah jauh masuk ke dalam tataran modernisasi, sedangkan pada sisi yang lain kita tengah memperbaiki persoalan intern (dalam negeri) yang belum kunjung usai. Dalam kondisi demikian, maka perlu melihat kembali pada kajian yang terkandung dalam syari’at Islam.
Islam memandang bahwa persoalan di atas sebenarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk merealisasikan konsep amar ma’ruf nahi mungkar, yang disebut oleh Imam Abu Hamid Al Ghazali sebagai kutub terbesar agama (Islam). Ironisnya, kewajiban tersebut dalam prakteknya justru dilupakan, bahkan dihapuskan.

Islam dan Konflik
Islam tidak mematikan insting alamiah manusia, tetapi lebih bagaimana meregulasikan insting alamiah tersebut sehingga unsur-unsur destruktifnya bisa diminimalisir.
Yang penting dicatat juga adalah fakta bahwa Islam sendiri datang dengan membawa bendara antitesis. Bahkan, menurut Shariati, bukan hanya agama Islam, tetapi juga agama-agama semit lainnnya. Kristen misalnya hadir ditengah-tengah masyarakat Yahudi yang menghayati agamanya secara formalistik. Kesalehan religius diukur secara simbolik-formalistik yang mengakibatkan agama Yahudi menjadi agama yang kering. Karena itu, Nabi Isa datang membawa risalah Ilahi dengan mengusung ide tandingan yaitu bahwa kesalehan religius tidak terletak hanya pada pelaksanaan formal keagamaan tapi yang lebih substantif daripada itu, yaitu kualitas spiritual, penghayatan pribadi, yang akan melahirkan kebaikan moral (cinta kasih).
Begitu pula Nabi Muhammad yang diutus Allah untuk melawan segala bentuk politeisme, baik pada tataran individual maupun tataran sosial. Bahkan, Nabi memproklamirkan Islam sebagai agama yang dimulai dari kata ”tidak”. Hal ini terlihat dalam kalimat persaksian (syahadah) ”tidak ada tuhan”. Karena Islam hadir sebagai antitesis dari sistem kepercayaan dan struktur sosial politeistik, Islam tidak pernah lepas dari konflik. Bahkan, pada awalnya Islam tidak mampu berkembang secara signifikan di Mekkah karena perlawanan dari masyarakat politeis Mekkah. Konflik antara umat Islam awal dengan masyarakat politeis Mekkah disebabkan ajaran Islam yang menawarkan sebuah sistem nilai, kepercayaan, dengan segenap implikasi sosialnya dianggap masyarakat politeis Mekkah sebagai bentuk ”pemberontakan” bukan hanya terhadap sistem kepercayaan lama tetapi juga mengancam struktur sosial.
Konflik antara masyarakat politeis Mekkah dengan Umat Islam semakin hari semakin tajam. Tidak ada ruang komunikasi yang terbangun yang memungkinkan jeda konflik apalagi perdamaian. Bahkan, kekerasan demi kekerasan yang menimpah Umat Islam awal yang kemudian memaksa Nabi untuk melakukan migrasi (hijrah) ke Yatsrib (Madinah).
Sebetulnya, Madinah pun tengah mengalami konflik panjang. Peperangan dan konflik di Madinah itu berlangsung selama 120 tahun. Kondisi tersebut membuat masyarakat Madinah lelah dan penat dengan konflik. Titik jenuh berkonflik hingga frustasi sosial tersebut memunculkan mimpi-mimpi mesianistik berupa harapan warga Madinah akan datangnya sang penyelamat sebab melalui dirinya sendiri dan kekuatan sosial yang ada, Madinah tidak mungkin dapat menciptakan perdamaian dan stabilitas. Karena peperangan tersebut, Madinah mengalami stagnasi ekonomi yang berkesinambungan, bahkan menimbulkan konflik-konflik baru. Pada saat periode kritis inilah muncul ”orang asing” yang menunjukkan kepada kelompok-kelompok tersebut bagaimana hidup berdampingan secara damai dalam tataran kemuliaan, mengundang setiap individu untuk hidup menurut dasar-dasar hukum, dengan prinsip ”kamu adalah apa adanya kamu” (you are what yuo are). Nabi menjadi ”pihak luar” yang mencoba melakukan proyek pembentukan masyarakat yang damai di Madinah.
Di Madinah ada tiga kelompok sosial, yaitu: pertama, kaum muslim, kaum Yahudi, dan kaum politeis Arab. Kaum muslim terdiri dari para pengungsi yang berasal dari Mekkah dan kelompok Anshar yakni orang-orang Yatsrib yang menerima Islam yang merupakan gabungan dari suku Auz dan Khazraj. Jenis struktur sosial ini asing bagi tradisi-tradisi kuno di Semenanjung Arab. Dalam tradisi Arab saat itu, organisasi sosial sangat bergantung pada ikatan darah dan kekerabatan, sementara di Madinah pertama kalinya, orang-orang yang berasal dari asal geografis, suku dan latarbelakang budaya yang berbeda secara totalitas bekerja sama dan mengidentifikasikan diri sebagai satu kelompok sosial tertentu. Belakangan Suhail dari Roma, Salman dari Persia, dan Gavan dari Kurdi dimasukkan dalam kelompok ini.[3]

C.  Historiografi Cendekiawan Muslim Indonesia
Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi.
Seringin dengan itu semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur ditandai dengan tampilnya Islam sebagai ideologi peradaban dunia dan kekuatan altenatif bagi perkembangan perabadan dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu berarti hegemoni mereka terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban lahir dari perasaan Barat yang subyektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang sedang bangkit kembali sehingga mengancam dominasi peradaban Barat. Kebangkitan umat Islam ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik (intelectual booming) yang di kalangan kelas menengah kaum santri Indonesia. Program dan kebijakan Orde Baru secara langsung maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern, berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada institusi-institusi modern. Pada akhirnya kaum santri dapat masuk ke jajaran birokrasi pemerintahan yang mulanya didominasi oleh kaum abangan dan di beberapa tempat oleh non muslim. Posisi demikian jelas berpengaruh terhadap produk-produk kebijakan pemerintah.
          Dengan kondisi yang membaik ini, maka pada dasa warsa 80-an mitos bahwa umat Islam Indonesia merupakan ? mayoritas tetapi secara teknikal minoritas? runtuh dengan sendirinya. Sementara itu, pendidikan berbangsa dan bernegara yang diterima kaum santri di luar dan di dalam kampus telah mematangkan mereka buka saja secara mental, tapi juga secara intelektual. Dari mereka itulah lahir critical mass yang responsif terhadap dinamika dan proses pembangunan yang sedang dijalankan dan juga telah memperkuat tradisi inteletual melalui pergumulan ide dan gagasan yang diekpresikan baik melalui forum seminar maupun tulisan di media cetak dan buku-buku. Seiring dengan itu juga terjadi perkembangan dan perubahan iklim politik yang makin kondusif bagi tumbuhnya saling pengertian antara umat Islam dengan komponen bangsa lainnya, termasuk yang berada di dalam birokrasi.

D.  Cendekiawan Muslim Dalam Partai Politik
Nama mohammad Nattsir dalam wacana pemikiran islam di Indonesia. Ia seorang negarawan dan pelaku sejarah negara Indonesia modern. Selian pemikir ia juga pelaku politik. Tokoh yang low profil pernah memimpin partai politik Islam Masyumi. Sebagai negarawan ia pernah menjadi perdana menteri di zaman Soekarno. Namun kegiatan terakhirnya adalah bergelut dibidang dakwah. Ia melopori berdirinya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga menjadi jembatan hubungan yang luas dengan dunia Islam Internsional
Nstsir lahir dan dibesarkan di alahan panjang, solok sumatera barat pada 17 juli 1908. Diusia 21 ia telah tampil dalam polemik dengan seorang pendeta, Ds Chirstoffel di koran AID . tulisan – tulisan natsir itu kem udian diterbitkan sebagai buku berjudul qran en Evangelie dan muhammad als Profeet
Pada tahun 1938 ia mulai aktif dibidang politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia cabang Bandung. Beliau mengajar ketua PII bandung pada 1940 hingga 1942 dan bekerja di pemerintahan sebagai kepala biro pendidikan kodya Bandung tahun 1945 dan merangkap sekretari Tinggi Islam di Jakrata. Puncak karier politik Natsir aadlah ketua Partai Islam Masyumi dan Perdana Menteri RI dimas Soekarno.
Pada masa awal – awal kemerdekaaan RI , natsir dipercaya sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tatkala perdana menteri Sutan Syahrir memerlukan dukungan Islam untuk kabinetnya, ia diminta menjadi menteri penerangan. Bekas wapres mohammad hatta memberi kesaksian bahwa bung Karno selaku presiden tidak mau menandatangani suatu keterangan pemerintah jika bukan Natsir yang menyusunnya. Tampilnya M. Natsir kepundcak pemrintahan itu tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam menggunakan “mosi integral Natsir”. Mosi itulah yang memungkinkan Republik Indonesia yang telah terpecah belah akibat koferensi Meja Bundar menjadi 17 negara bagian, kembali menjadi negara kesatuan RI.
Pada masa dmokrasi terpimpin 1958 natsir mengambil sikap mentang politik pemerintahan. Keadaan ini mendoronnya bergabung dengan para penentang lainnya dan membentuk Pemrintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) suatu pemerintahnan tandingan dipedalam sumatera. Tokoh PPRI menyatakan bahwa pemerintahan dibawah presiden Soekarno waktu itu secara garis besar telah menyeleweng dari Undang –Undang dasar 1945. Sebagai akibat tindakan M. Natsir dan tokoh PRRI lainnya yang didominasi anggota Masyumi, mereka ditangkap dan dimasukkan kedalam penjara. Natsir dikirim kebatu, Malang Syafuddin Prawiranegara dikirim ke Jawa Tengah, Burhanuddin Harahap dikirm ke Pati, Sumitro Djojohadikusumo dapat lari keluar negeri. Dampaknya masyumi dibubarkan pada 17 Agustus 1960. Natsir dibebaskan pada bulan Juli 1966 setelah pemerintahan orde lama digantikan oleh orde baru.
Sejak itu format perjuangan Natsir berubah dari politik ke dakwah. Ia mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia. Selain dipusatnya Jakarta. Ia juga membentuk DDII perwakilan daerah.
Sampai awal tahun 1980 Natsir berulang kali melawat keluar negeri, terutama kenegara Islam, menghadiri konferensi atau seminar dakwah internasional. Sebagai wakil Presiden Muktamar Alam Islami pada konferensi di Cyprus, Natsir menyampaikan makalah berjudul “Dunia Islam Berhadapan dengan Dunia MODERN” disitu ia mengingatkan pemimpin islam tentang terjadinya pergeseran kekuatan dunia yang tidak lagi didominasi oleh blok barat atau blok timur.
Sekalipun aktif dalam dakwah, namun jiwa politik Natsir mesih melekat. Sikap kritis dan korektifnya ia sampaikan kepada pemerintahan orde bau dibawah Soeharto. Kritiknya menandatangani Petisi 50 bersama Ali Sadikin da kawan – kawan pada 5 Mei 1980. Konsekuensinya, ia dicekal keluar negeri tanpa proses pengadilan.
Natsir wafat pada 6 Februari 1993 dalam usia 85 tahun. Ia meninggalkan 6 anak dari pernikahannya dengan Nurnahar. Namun tak satu pun dari putranya yang mengikuti jejak ayahnya yang pejuang dan pemikir umat.

E.  Hubungan Antara Cendikiawan, Negara Dan Kekuasaan
1.      Islam dan Negara
Ide tentang negara Islam merupakan isu utama yang brkembang pada awal Indonesia merdeka. Netsir memiliki pandangan yang moderat soal Islam dan negara. Dalam pandangannya tentang negara, Natsir mengatakan bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut “negara Islam” ataupun “berdasarkan Islam”, melainkan negara itu disusun “sesuai dengan ajran – ajaran Islam”, baik dalam teori maupun praktiknya. Dasar negara dapat dirumuskan dalam klausul – klausul yang bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak – kehendak Islam.
M. natsir berdalil untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan yaiotu sekularisme (la diniyah) atau paham agama (dini). Pancasila menurut pendapatnya adalah la diniyah karena itu ia sekular, tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila adalah hasil dari penggalian masyarakat. Sesuai dengan argumen yang diajukan. Natsir mengajak orang untuk melihat bahwa Islam sbagai agama anutan mayoritas rakyat Indonesia , cukup mempunyai akar dalam masyarakat, dan karenaya punya alasan yang kuat untuk dijadikan dasar negara. Ajaran Islam mempunyai sift – sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi.
M. Natsir menggunakan istilah modernisasi poltiik Islam yang mebgandung arti sebagai sikap dan pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajara dan nilai – nilai kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung dalam Qur’an dan sunnah nabi dan menyesuaikannya dengan perkembangan – perkembangan mutakhir dalam sejarah perasdaban umat manusia. Dalam term politik seperti ini, natsir mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam. Bagi kita, menegakkan Islam itu tidak dapat dilepaskan dari menegakkan negara, dan menegakkan kemerdekaan.
Natsir berpendapat, negara tidak perlu disuruh untuk didirikan oleh Rasullullah. Dengan atau tanpa Islam, negara bisa berdiri, dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam. Dimana saja ada segolongan manusia hidup bersama – sama dalam suatu masyarakat. Dizaman onta dan pohon korma ada negara di zaman kapal terbang ada negara. Negara dizaman onta berlaku sebagaimana yang munasabah dengan masa itu dan dizaman kapal terbang berlaku sebagaimana yang munasabah pada zaman kapal terbang, tentang ada negara yang teratur dan ada yang kurang teratur adalah soal biasa. Tetapi bagaimanapun kedua – duanya adalah negara, dengan atau tidak dengan Islam.
            Dalam mengupas masalah hubungan Islam dan negara, Natsir mendasarkan uraiannya kepada ayat – ayat Al- Qur’an “dan kami tidak jadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah kepada ku” “Qs. 27:26” dari ayat ini Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan “ seorang Islam hidup didunia ini dengan cita – cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat”. Dunia dan akhirat ini sama sekali bagi kaum muslimin tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka. Selanjutnya didalilkan bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi Al – Qur’an, sebab dengan hanya itulah aturan – aturan dan ajaran – ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin modernis ini, negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum – hukm Allah demi keselamatan dan kesentosaan manusia. Sebagai alat, adanya negara bersifat mutlak, karena itu Natsir membela prinsip persatuan agama dengan negara.
            Menurut analisis Ahmad Syafii Maarif, tulisan – tulisan Natsir tidak otomatis menjadi jelas apa yang dimasudkannya dengan hukum – hukum Allah, apakah hukum syari’ah, yang terdapat dalam jurisprudensi Islam atau hanyalah perintah – perintah moral yang sifatnya umum dari Al- Qur’an dan Sunnah mengenai tingkah laku manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyrakat. Natsir tampaknya lebih cenderung kepada yang kedua, sebab jarang ia berbicara tentang syariah sebagaimana yang umum dipahami oleh umat Islam. Seperti halnya penulis – penulis modernis lainnya di Indonesia, natsir belum pernah mempersoalkan adanya ijtihad guna menjawab tuntutan – tuntutan kontemporernya umat secara keseluruhan.
            Bagaimana dengan kepala negara, apakah harus memakai nama khalifah sebagaimana yang diwajibkan oleh teori klasik dalam literatur Islam . dalam hal ini, Natsir jauh melampui seorang Rasyid Ridha yang masih mewajibkan keturunan Quraisy untuk menjadi khalifah. Bagi Natsir sebutan seorang kepala negara, khalifah, amirul mukmin, presiden, semuanya boleh. Pokoknya apa saja boleh, asal sifat – sifat , hak dan kewajibannya adalah seperti yang di kehendaki Islam.
Negara dan kekuasaan dalam islam
Manusia selalu hidup dalam golongan, ada golongan yang bernama keluarga, famili, tetangga, korong kampung, negeri, daerah dan negara. Semua golongan tempat manusia menjadi sebagai anggotanya tidak dibuat atau diciptakan oleh manusia. Golongan-golongan yang beraneka ragam itu terjadi karena watak manusia itu sendiri. Hukum Qur’an mengatakan bahwa golongan itu sudah dijadikan oleh Tuhan dan sudah menjadi sunnah-Nya dalam kehidupan manusia. Dengan demikian maka Qur’an menolak teori perjanjian masyarakat dalam pembentukan Negara seperti yang dikemukakan oleh Hobbes dan Locke. Hukum Qur’an juga menolak teori teokrasi dalam terbentuknya Negara.
- Kekuasaan dalam Negara
Mengenai timbulnya kekuasaan dalam Negara Qur’an mempunyai pendirian yang berlainan dari teori-teori kekuasaan dalam Negara seperti berikut :
a. Hobbes dengan teori perjanjian masyarakat, mengatakan bahwa kekuasaan yang ada dalam negara itu adalah kekuasaan yang diberikan oleh orang ramai kepada pemegang kekuasaan itu (homo homini lupus) dalam teorinya Hobbes mengatakan bahwa manusia memakai manusia untuk menegakkan keamanan dan ketertiban.
b. Dan Lock mengatakan bahwa kekuasaan yang diberikan kepada pemegang kekuasaan dalam Negara itu adalah kekuasaan untuk mejamin keselamatan jiwa, kemerdekaan dan harta benda setiap orang.
c. Rousseau mengatakan bahwa yang mempunyai kekuasaan itu bukanlan yang memegang kekuasaan dalam negara. Namun yang mempunyai kekuasaan itu adalah rakyat yang telah mengadakan perjanjian masyarakat. Pemegang kekuasaan hanyalah pelaksana belaka dari kekuasaan atas nama rakyat, yang mempunyai hak untuk membatasinya, merubahnya dan mencabut apabila dikehendakinya.
Qur’an mengatakan bahwa manusia itu dijadikan sebagai penguasa dalam negara, dan Tuhan menjadikan segolongan manusia mempunyai kelebihan dari golongan yang lain. Kelebihan itu dapat berupa kelebihan dalam keagungan darah dan keturunan (zaman feodalisme dan monarchi absolute)
Kelebihan dalam soal keagamaan (abad pertengahan) kelebihan dalam bidang kekayaan (masa kapitalisme) kelebihan dalam kekuatan politik (pemerintahan parlementer). Dan harus pula kita ketahui bahwa kelebihan itu tidak hanya pada hal-hal yang baik namun juga dalam arti kata yang buruk seperti kelebihan dalam kelicinan dan kancil. Ini bisa kita lihat dalam pertumbuhan kekuasaan dalam Negara semenjak terjadinya Negara dalam masyarakat umat manusa bahwa, yang memegang kekuasaan itu selalu golongan yang mempunyai kelebihan dibanding dengan golongan yang lain.
- Siapa Sebenarnya yang Berkuasa?
Qur’an menceritakan bahwa Tuhan mengatakan kepada malaikat, bahwa Tuhan akan menciptakan Adam sebagai penguasa di atas bumi. Dan Tuhan pun berkata bahwa Dia telah melantik Daud sebagai penguasa di atas dunia, serta Tuhan pun mengatakan bahwa di dalam tanganNyalah terletak kekuasaan Negara.
Dari Qur’an ini kita mengetahui bahwa yang memberikan kekuasaan adalah Allah Yang Maha Berkuasa. Jadi, kekuasaan yang ada dalam suatu negara itu sebenarnya adalah kekuasaan yang didelegasikan oleh Tuhan. Dengan lebih jelasnya bahwa hukum Qur’an mempunyai ajaran tentang kedalulatan negara dengan nama kedaulatan Tuhan. Namun perlu diingat bahwa kedaulatan Tuhan tidak sama dengan teori teokrasi tentang kekuasaan, sungguhpun teori teokrasi tentang kekuasaan mengatakan bahwa raja yang memerintah itu bij gratie Gods (dengan karunia Tuhan), tetapi bagaimana mempergunakan kekuasaan yang katanya diterima oleh raja dari Tuhan itu tidaklah dipersoalkan. Sehingga dengan demikain terjadilah kesewenang-wenangan dan kelaliman dari yang mempunyai kekuasaan itu, yang dilakukan atas nama kekuasaan dari Tuhan. Lain dengan ajaran hukum Qur’an bahwa kekuasaan yang diberikan kepada penguasa negara itu ditentukan cara mempergunakannya dan dibatasi oleh peraturan-peraturan yang diberikan oleh Tuhan sendiri.
Kedaulatan menurut Qur’an bukanlah kedaulatan rakyat menurut ilmu hukum negara. Maka kita tidak sependapat dengan Z.A. Ahmad yang mengatakan bahwa salah satu dasar-dasar negara Islam adalah kedaulatan rakyat dimana pengertiannya adalah dalam kata-kata ulil amri seperti yang disebutkan oleh Qur’an 4:59 yang memerintahkan bahwa umat Islam harus mentaati Allah dan Rasul serta ulil amri. Namun kita tidak melihat pengertian bahwa kedaulatan rakyat itu dalam kata-kata ulil amri kendatipun dalam kata-kata itu ada tersimpul musyawarah, perbedaan pikiran dan perwakilan. Namun harus diingat bahwa musyawarah, perbedaan pikiran dan perwakilan bukanlah berarti bahwa negara itu mendasarkan kekuasaannya pada kedaulatan rakyat karena adanya musyawarah, perbedaan pikiran dan perwakilan bukanlah menjadi unsur-unsur dari kedaulatan rakyat.
Abdoer rauf sependapat dengan Prof. Dr. Ismail Suny, S.H. M.C.L., yang mengatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat hanya sebagai penyelenggara belaka dari kedaulatan Tuhan, yang akan menciptakan hukum dalam masyarakat. Namun beliau tidak sependapat ketika Ismail Suny mengatakan bahwa kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum dapat dipertemukan dalam satu negara, apabila yang dimaksudkan adalah bahwa ketiga-tiganya itu mempunyai tingkat yang sama tingginya.
Dengan demikian jelaslah bahwa hukum Qur’an menolak teori kedaulatan negara, yang dalam kelanjutannya menimbulkan negara kekuasaan. Qur’an juga menolak teori kedaulatan hukum. Tetapi kelanjutan teori kedaulatan hukum yang menimbulkan paham negara hukum memang sesuai dengan hukum Qur’an. Hukum Qur’an pun menjadikan negara itu suatu negara hukum. Hanya saja pengertian hukum yang ada dalam negara menurut hukum Qur’an berbeda dengan pengertian hukum menurut teori kedaulatan hukum.
Sebenarnya, dimanakah terletaknya kedaulatan atau kekuasaan dalam negara itu tidaklah langsung mengenai kehidupan umat manusia dalam negara yang bersangkutan. Yang langsung mengenai kehidupan umat manusia dalam suatu negara adalah untuk apa kekuasaan itu dipergunakan dalam negara atau dengan kata lain apakah sebenarnya tujuan negara itu.
Tujuan Negara
Kekuasaan untuk kekuasaan semata-mata. Teori-teori ini diajarkan oleh ;
a. Shang Yang
Kekuasaan dipergunakan hanya untuk kepentingan kekuasaan itu semata dan tidak memperdulikan orang yang berada di bawah kekuasaannya. Kekuasaan dipergunakan untuk memperbesar dan memperkuat kekuasaan itu sendiri. Rakyat harus diperbodoh supaya mereka tidak menentang kekuasaan itu.
b. Machiavelli
Pemegang kekuasaan harus berkumpul pada dirinya sifat harimau dan ssfat kancil. Sifat harimau untuk membinasakan lawannya dan sifat kancil untuk menipu. Pemegang kekuasaan dalam negaranya tidak boleh memperhatikan hukum moril dan hukum kemanusiaan dalam menjalankan kekuasaannya karena akan mengalami kerobohan. Orang yang memperhatikan hukum moril dan kemanusiaan tidak pantas memegang kekuasaan. Orang yang patut memegang kekuasaan adalah orang-orang yang mau hantam kromo saja.
c. Nietzsche
Kekuasaan harus diepagan oleh uebermensch (manusia singa). Bukan saja bangsa yang ada di dalam negara itu yang harus dijadikan abdi tetapi semua umat manusia dimanapun harus pula bertekuk lutut di bawah kekuasaan mereka.
Semua teori di atas bertentangan dengan hukum Qur’an, dimana dalam Qur’an Tuhan mengatakan kepada Daud yang sudah dilantik menjadi pemegang kekuasaan dalam negara supaya berlaku adil dalam memberikan hukum kepada manusia, dan jangan memperturutkan kehendak hawa nafsu. Hukum Qur’an mengajarkan bahwa kekuasaan yang ada dalam tangan pemegang kekuatan negara tidak boleh dijalankan sesuka hati. Hukum Qur’an pun menolak ajaran Friederich Engels yang mengatakan bahwa negara itu dikuasai oleh pertumbuhannya dialektika yang materialistis. Pertentangan-pertentangan antar golongan masyarakat itu yang akan menentukan ke arah mana akan menuju. Negara tidak usah diberi tujuan dan biarkan saja mengalir sesuai dengan pertumbuhannya.
Hukum Qur’an juga menolak teori dan ajaran Dante yang mengatakan bahwa, tujuan hidup manusia adalah supaya tercapainya kehidupan rohani yang suci menurut kehendak Tuhan. Hal ini tidak akan tercapai, apabila di atas dunia ini berdiri berbagai negara. Untuk mencapai tujuan di atas maka negara-negara yang ada harus dilebur menjadi satu imperium dunia yang diperintah oleh seorang kaisar.
Jika semua negara berpegangan pada ajaran Dante ini maka masing-masing negara akan berusaha memberikan satu imperium dunia. Masing-masing negara itu akan merasa bahwa merekalah yang mempunyai kewajiban dan hak untuk membentuk imperium tersebut. Hukum Qur’an tidak saja memerintahkan supaya rohani umat manusia itu menjadi luhur, tetapi memerintahkan pula supaya kehidupan lain menjadi sempurna.
Montesquieu dan Kant mengajarkan bahwa tujuan negara adalah untuk memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada rakyat. Apabila undang-undang negara sudah dibuat oleh badan legislatif, dan telah dijalankan oleh pemerintah (eksekutif), dan apabila ada orang yang melanggar maka pelanggar itu akan dihukum oleh badan kehakiman (judikatif) maka sudah tercapailah tujuan dari negara itu. Tetapi pada masa fungsi negara sudah semakin luas dan besar seperti yang terjadi pada saat sekarang teori tersebut sudah tidak dapat dipakai lagi karena beraneka ragam perkembagan dalam bidang apapun seperti teknologi, ekonomi dan lain-lain yang pada ahirnya akan memberikan keanekaragaman tujuan dari negera tersebut. Qur’an sebagai hukum abadi dan berlaku di semua tempat dan zaman dengan satu kalimat dalam surat 4:53 bisa dipahami bahwa tujuan kekuasaan dalam negara itu adalah untuk melaksanakan kebajikan.
Para sarjana ilmu politik pada masa sekarang pun sudah menyadari bahwa tujuan negara tidaklah satu tetapi beraneka ragam, namum mereka belum bisa mencari sebuah perkataan yang dapat melingkupi semua tujuan itu. Seperti halnya Mac Iver memberikan tujuan negara dalam 3 lapangan, yaitu lapangan kebudayaan, kemakmuran dan ekonomi. Dalam lapangan kebudayaan Mac Iver menyebutkan bahwa tujuan negara adalah menjamin kemerdekaan kebudayaan tiap-tiap golongan dalam negara, sehingga tidak ada diskriminasi dan paksaan terhadap golonga lain. Dalam hal ini Qur’an menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam agama.
Mac Iver menyimpulkan tujuan negara dalam lapangan kemakmuran dengan kebebasan yang disebutkan oleh Presiden Amerika Rooselvt, yaitu freedom want dan freedom from fear. Kekuasaan dalam negara harus dipergunakan untuk membebaskan rakyat dari kepapaan dan dari ketakutan. Hal ini menurut hukum Qur’an adalah amal kebajikan. Qur’an mengatakan bahwa orang yang menyia-nyiakan anak yatim, dan orang yagn tidak menganjurkan memberi makan orang fakir, sebagai orang yang mendustakan agama.
Yang kedua adalah ketakutan dari kesewengan-wenangan. Menurut hukum Qur’an kesewengan-wenangan terjadi karena kezaliman dan kefasikan. Kezaliman terjadi karena hawa nafsu, dengan tidak memperdulikan terhadap nilai-nilai budi yang luhur.
Adapun tujuan negara dalam bidang ekonomi menurut Mac Iver adalah melakukan pengawasan terhadap pengembangannya. Liberalisme berpendapat bahwa lapangan ekonomi tidak usah diawasi oleh negara, equilibrium dalam masyarakat akan terjadi dengan sendirinya. Ada segolongan yang mengatakan bahwa negara malakukan pengawasan dengan jalan mengadakan planning ekonomi, ada juga yang berpendapat bahwa lapangan ekonomi diawasi negara dalam hal persaingan bebas, dan lain-lain. Maka dalam hal ini Qur’an memberikan keterangan bahwa dalam hal ekonomi negara tidak boleh melepaskan begitu saja dan harus ada campur tangan dari negara.
Negara dan Agama
Agama dan Negara harus dipisahkan begitulah kata otang. Pemisahan negara dan agama sebenarnya kurang tepat, karena sebenarnya persoalan yang timbul di eropa pada abad pertengahan itu bukanlah pemisahan antara agama dan negara, melainkan pemisahan gereja dengan negara. Gereja sebagai organisasi yang mengatur, menjalankan peraturan dan memberikan hukuman, Demikian juga dengan organisasi negara. Kedua oraganisasi ini masing-masing berkuasa di dalam satu raerah dan kepada satu golongan manusia yang sama pula. Dengan demikian maka timbullah persoalan, oraganisasi yang manakah yang akan dipatuhi. Persoalah akan tampak menonjol ketika terdapat pertentangan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing organisasi tersebut.
Untuk memecahkan masalah ini kemudian Innocentius III (1198-1216) dan Bonifacius III (1294-1303) yang keduanya sebagai paus mengeluarkan teori matahari dan bulan. Dimana bulan menerima cahaya dari matahari, negara adalah bulan dan matahari adalah gereja. Jadi negara menerima kekuasaanya dari gereja. Negara tidak mempunyai kekuasaannya sendiri sehingga harus takluk kepada gereja. Gereja menjadi organisasi tertinggi dan yang menentukan. Peraturan negara harus sesuai dengan tujuan yang suci, dan sesuai atau tidaknya peraturan negara ini ditentukan oleh gereja.
Pada ahir abad pertengahan, dan dengan munculnya Renaissance, kelihatanlah bahwa kekuasaan gereja telah hampir pudar. Perjuangan antara gereja dan negara dapat dikatakan sudah mendekati ahirnya. Tetapi perjuangan dalam agam tetap berjalan hanya dalam lapangan yang lain. Kalau dalam abad pertengahan itu perjuangan antara agama dan negara, maka selanjutnya perjuangan itu antara golongan dengan golongan. Masing-masing golongan berusaha mencari kekuatan dalam kekuasaan negara untuk menindas golongan agama yang lain.
- Agama dan Kebangsaan
Golongan manusia dalam berbagai bangsa adalah penggolongan yang terjadi sejak abad ke-19. sebelum itu penggolongan umat manusia sebagai bangsa belum terjadi. Sejak terjadinya bangsa-bangsa dalam masyarakat maka kemudian muncullah teori-teori yang dikemukakan. Teori-teori tersbut dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu, teori obyektif dan teori subyektif.
Teori obyektif memberikan factor-faktor yang obyektif sebagai tanda suatu bangsa, terlepas dari kehendak manusia itu sendiri. Factor-faktor tersebut adalah bahasa, ras, agama, peradaban dan daerah. Namun teori ini tidak dapat dengan sempurna menerangkan apakah yang disebut dengan bangsa itu.
Teori subyektif menunjukkan kemauan atau kehendak manusia sendiri yang menentukan apakah yang disebut bangsa itu. John Stuart Mill memandag rasa simpatik timbale balik yang ada dalam golongan manusia itu yang menandakan adanya satu bangsa. Tetapi kaum buruh tidak ada yang menaruh simpatik terhadap kaum kapitalis dan begitu pula sebaliknya, walaupun kedua golongan itu terdiri dari satu bangsa. Dan teori subyektif inipun tidak bisa mengemukakan apa yang disebut dengan bangsa itu.
Qur’an telah mengatakan bahwa manusia itu diciptakan bersuku-suku dan golongan. Jadi menurut Qur’an bahwa manusia itu hidup dalam golongan, entah itu namanya kampung, daerah, negara dan lain sebagainya. Semuanya itu ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Islam dan Pancasila
Natsir mengungkapkan pandangannya yang lebih moderat mengenai pancasila. Pada tahun 1954, beliau memberikan sebuah ceramah yang membahas hubungan Islam dengan Pancasila . natsir lebih melihat soal pancasila itu adalah “soal penafsiran saja”. Dia mengingatkan agar pihak – pihak lain janganlah membuat penafsiran – penafsiran yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dia yakin bahwa perumusan pancasila yang mayoritas adalah muslim tidak akan merumuskan sesuatu yang bertentangan secara asasi dengan Islam ketika Pancasila mereka rundingkan pada tahun 1945
Pancasila, kata Natsir bukanlah sesuatu yang asing bagi Islam sejauh ia tafsirkan sesuai dengan asas –asas keyakinan agama itu. sebaliknya ia akan menjadi asing jika ditafsirkan dengan cara – cara yang tidak cocok. Namun, beliau mengingatkan bahwa betapapun terdapat kesesuaian antara Pancasila dengan Islam, tidaklah berarti bahwa Pancasila adalah Islam atau Islam adalah Pancasila, keduanya ttap berbeda, Islam kata Natsir lebih luas dari pada lima sila didalam Pancasila itu. lima sila itu hanyalah menggambarkan sebagian dari ajran Islam.
Karena hal itu, pihak – pihak diluar Islam, menurut Natsir tidak perlu khawatir bila Islam menjadi dasar negara “ seolah – olah Pancasila akan lenyap ditelan oleh Islam”. Kelima sila itu tambah Natsir telah tercakup dalam Islam. Dengan demikian, melaksanakan Islam berarti sekaligus melaksanakan sila – sila Pancasila itu. natsir juga mengingatkan bahwa dalam pengakuan Islam, Pancasila itu akan hidup subur. Sebaliknya akan lenyap dan hanya tinggal kerangka apabila ia berada dibawah pengakuan orang – orang ateis dan orang – orang yang jiwanya penuh dengan fobia dan sinisme terhadap agama. Dibawah pengakuan orang – orang seperti ini kata Natsir dalam ayunan langkah yang pertama saja Pancasila itu telah lumpuh. Pancasila tambah Natsir tidak sepatutnya dijadikan alat untuk memperjuangkannya dengan cara – cara yang sah dan demokratis. 

KESIMPULAN
Islam tidak mematikan insting alamiah manusia, tetapi lebih bagaimana meregulasikan insting alamiah tersebut sehingga unsur-unsur destruktifnya bisa diminimalisir.
Yang penting dicatat juga adalah fakta bahwa Islam sendiri datang dengan membawa bendara antitesis. Bahkan, menurut Shariati, bukan hanya agama Islam, tetapi juga agama-agama semit lainnnya. Kristen misalnya hadir ditengah-tengah masyarakat Yahudi yang menghayati agamanya secara formalistik. Kesalehan religius diukur secara simbolik-formalistik yang mengakibatkan agama Yahudi menjadi agama yang kering. Karena itu, Nabi Isa datang membawa risalah Ilahi dengan mengusung ide tandingan yaitu bahwa kesalehan religius tidak terletak hanya pada pelaksanaan formal keagamaan tapi yang lebih substantif daripada itu, yaitu kualitas spiritual, penghayatan pribadi, yang akan melahirkan kebaikan moral (cinta kasih).





[1] George ritzer, sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda, (Jakarta:rajawali pers, 2009), hal.26
[2] Rachmad k.dwi susilo, 20 tokoh sosiologi modern(Jogjakarta:ar ruzz media,2008), hal.231
[3] Lihat artikel Ali Bulac, Piagam Madinah dalam: Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 264-284

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

my lovely