Dalam berbagai literature tentang ilmu akhlak islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagia, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah,
pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah (perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Hukum-hukum akhlak ialah hokum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.
Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
Karakteristik dalam ajaran Islam
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
Dalam tradisi filsafat, istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: objektivisme dan subjektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam -- pada batas tertentu -- ialah aliran Mu’tazilah (Rasionalisme Islam).
Aliran kedua ialah subjektivisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Subjek disini bisa saja berupa subjektivisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subjek Tuhan. Faham subjektivisme etika ini terbagi ke dalam beberapa aliran, sejak dari etika Hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham Tradisionalisme Asy'ariyah.
Menurut faham Asy'ariyah (Tradisionalisme Islam), nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada objektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy'ariyah berpandangan bahwa manusia itu bagaikan 'anak kecil' yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu, karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam kitab suci? sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu'tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy'ariyah.
Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Quran sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Quran “pesan etis” selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika Dan Kebebasan
Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bilamana tindakan itu produk pilihan sadar dalam situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dalam keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa mengamsumsikan kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan, semakin besar pula pertanggungjawaban moralnya.
Dalam perspektif di atas, maka faham Jabariyah yang berpandangan bahwa tindakan manusia adalah bagaikan “gerak wayang”, yang ditentukan oleh 'dalang'. Dan tidak ada tempat di dalamnya bagi konsep etika voluntarisme rasional Kantianisme.
Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa, suatu pandangan positif yang menyatakan bahwa manusia memang pantas mendapatkan julukan “ahsanu taqwîm” (the best creature of God, puncak ciptaan Tuhan), meskipun keunggulan kualitas manusia itu masih harus diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia. Barangkali saja dalam perspektif yang demikian ini kita bisa memahami mengapa pewahyuan Tuhan melalui para rasul-Nya telah diakhiri, sementara kehidupan manusia, dari waktu ke waktu, kian berkembang sedemikian kompleksnya.
Sebelum kerasulan Muhammad saw. problema kehidupan manusia tidak sekompleks pasca-Muhammad saw., namun justeru pada masa-masa itu Allah sering mengirimkan rasul-rasul-Nya, sedang di masa sekarang Allah sama sekali tidak mengutus mereka. Mengapa demikian? Biasanya kita ajukan dua jawaban klise. Pertama, tuntutan Allah yang diturunkan kepada manusia sudah sempurna (lihat: QS al-Mâidah, 5: 3 dan QS al-Anbiyâ’, 21: 107). Kedua, manusia -- dengan kemampuan rasionalitasnya -- telah mampu mengevaluasi kehidupan kesejarahan untuk menciptakan kebaikan hidup mereka.
Klaim yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama paripurna tersirat pada surat QS al-Mâidah, 5: 3 dan QS al-Anbiyâ’, 21: 107. Yang pertama menyebutkan bahwa Islam adalah nikmat Tuhan yang telah disempurnakan, yang kedua menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Secara dogmatiko-teologis kedua klaim di atas memang sudah lazim diterima oleh umat Islam, namun secara rasional dan empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta diuji kembali kebenarannya dalam perjalanan sejarahnya.
Dari analisis bahasa dan sosio-historis, Islam hadir bukannya dalam ruang kosong, melainkan dalam wacana yang memiliki sifat lokal dan partikular. Secara eksplisit disebutkan bahwa al-Quran disebarluaskan dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa -- mau tidak mau -- bersifat budaya, ia terikat dengan kaedah-kaedah sosial dan konsensus budaya. Jadi, universalitas pesan al-Quran akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga memiliki dimensi universal. Dalam hal ini rasionalitas dan substansi bahasalah yang -- secara jelas -- merupakan dimensi universal yang melekat pada manusia. Manusia dibedakan dari binatang terutama adalah karena -- manusia -- merupakan animal symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan simbol-simbol. Berbahasa pada dasarnya adalah berpikir, dan berpikir tidaklah mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak selalu harus berbicara ataupun menulis.
Karena adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka suatu masyarakat tercipta, komunikasi antarmereka berlangsung, dan dunia di sekitarnya memperoleh makna. Barangkali fenomena inilah yang telah diisyaratkan oleh al-Quran, pada QS al-Baqarah, 2: 31 di mana Allah telah mengajar 'nama-nama' pada Adam.
Karena rasionalitas dan sistem simbol yang dimiliki manusia maka realitas masa lampau bisa direkontruksi, diceritakan dan dihadirkan kembali di hadapan kita melalui narasi sejarah.
Suatu nilai, cita-cita dan gagasan masa lampau pun bisa diwariskan kepada generasi ke generasi lantaran adanya sistem simbol ini. Dan sesungguhnya hanyalah al-Quran yang secara eksplisit dan tegas agar umat Islam mengembangkan rasionalitas dan sistem simbol untuk membangun peradabannya. Kita bisa membuat suatu pengandaian, kalau saja al-Quran bertentangan dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan bahwa Islam telah terdistorsi dalam perjalan sejarahnya. Lebih dari itu etika Islam akan teranomali dalam kehidupan modern.
Dengan kata lain, al-Quran dan pesan-pesannya kini telah menjadi bagian integral dari realitas sejarah masa lampau dan tetap hidup sampai kini, tanpa adanya revisi dan campur tangan Tuhan, baik isi maupun redaksionalnya. Di sini tersirat pandangan positif al-Quran tentang manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat al-Quran segera terlihat bahwa etika al-Quran sangat humanistik dan rasionalistik. Pesan al-Quran, seperti halnya ajakan kepada keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu, dan lain sebagainya, semuanya “sejalan” dengan prestasi rasionalitas manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para ilmuwan dan filosof.
Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, (etika Islam) tidak menentang fitrah manusia. Kedua, (etika Islam) sangat rasionalistik. Sekadar sebagai perbandingan, “cermati” pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sebagai berikut, yaitu: (1) adanya kegandrungan (keinginan kuat) untuk menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; (2) kesediaan untuk menyatakan pendapat; (3) kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang daripada waktu yang telah lampau; (4) rasa ketepatan waktu yang lebih baik; (5) keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; (6) kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; (7) menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan (8) keyakinan pada keadilan yang bisa diratakan.
Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu memang sejalan dengan etika al-Quran. Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal.
Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subjektif. Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subjek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu tindakan subjektif dalam kerangka nilai-nilai etika objektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin.
Dalam teori etika, tindakan moral mengamsumsikan adanya otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai otonomi dan kebebasan sejati tidaklah harus ditempuh dengan menyatakan 'kematian Tuhan' sebagaimana diproklamasikan oleh Nietzsche atau Sartre. Misalnya, keduanya berpendapat bahwa manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya, manusia haruslah bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, bukannya pada Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya.
Dasar pemikiran seperti di atas tentu saja berangkat dari konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen. Dalam sejarah pemikiran Barat, kita mencatat bahwa untuk mencapai derajat ‘filsuf’ biasanya mereka mesti ‘bentrok’ (baca: harus berseberangan) dengan doktrin gereja tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islam, justeru ketika tindakan kita diorientasikan pada Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha Bebas, maka kita tidak akan terjebak dalam relativisme dunia dan sebaliknya kita akan terangkat menuju pada atmosphere Yang Maha Otonom.
0 komentar:
Posting Komentar