Secara histories etika sebagai filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun yang lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan.manusia. Situasi itu berlaku pada zaman sekarang juga, bahkan bagi kita masing-masing. Yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan kewajiban saya dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan. Misalnya dalam bidang etika seksual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban kepada negara, etika sopan santun dan jika kita mengambil isu dalam materi yang akan kita bahas yaitu etika dalam profesi jurnalistik.
Tapi yang perlu kita ingat bahwa etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab dengan pelbagai ajaran moral.
Begitu juga di dalam profesi kewartawanan, etika tidak mengajarkan seorang wartawan untuk memilih berita yang satu dibandingkan berita yang lainnya ataupun memilih narasumber satu diantara narasumber yang lainnya, karena itu semua didasarkan pada pertimbangan moral dan kesepakatan bersama. Tetapi etika jurnalistik memberikan tuntunan bagi seorang wartawan agar dalam menjalankan profesinya, sang wartawan dapat bertindak dalam garis yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya.
Tapi yang perlu kita ingat bahwa etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab dengan pelbagai ajaran moral.
Begitu juga di dalam profesi kewartawanan, etika tidak mengajarkan seorang wartawan untuk memilih berita yang satu dibandingkan berita yang lainnya ataupun memilih narasumber satu diantara narasumber yang lainnya, karena itu semua didasarkan pada pertimbangan moral dan kesepakatan bersama. Tetapi etika jurnalistik memberikan tuntunan bagi seorang wartawan agar dalam menjalankan profesinya, sang wartawan dapat bertindak dalam garis yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya.
_______________________________________________________________________________
Aturan Hukum Dalam Industri Pers;
Isu yang Selalu Menjadi Kontroversi
Kemajuan dunia jurnalistik di Indonesia telah membangkitkan pers menjadi salah satu industri yang tumbuh pesat di Indonesia. Pertumbuhan tersebut ternyata diikuti pula oleh makin kompleks kinerja baik internal maupun eksternal yang harus dilakukan oleh insan-insan pers dalam hal ini adalah perusahaan media, agen distributor, biro iklan dan yang paling penting adalah profesi wartawan itu sendiri. Hubungan antara stakeholders tersebut sangat penting terutama jika kita mengaitkan kepada system pers yang lebih besar dimana masyarakat sebagai konsumen media juga ada di dalamnya. Persinggungan antara komponen system tentunya tidak bisa dielakkan, jika ini terjadi maka disitulah etika berfungsi sebagai pengkoreksi.
Dalam perkembangan industri pers dimana perkembangan profesi journalist juga terikut didalamnya. Saat ini kita mengenal undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai UU yang berlaku khusus bagi industri pers dan profesi yang berlaku didalamnya. Hal ini menyebabkan UU pers adalah lex specialis, apa itu lex specialis? Sebelumnya kita harus mengenal bahwa di dalam ketentuan hukum yang berlaku secara universal bahwa lex specialis derogate legi lex generali yang berarti ketentuan khusus mengeyampingkan ketentuan umum. UU Pers itu lex specialis, sedangkan KUH Pidana adalah lex generali. Artinya bahwa UU Pers diperuntukkan hanya mengatur dan menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat peran dan fungsi pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistik.
Jika merunut kepada epistimologi dari lahirnya UU ini dimana UU ini berfungsi untuk menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967 dan diubah dengan UU No. 21 Tahun 1982 bahwa UU No. 40 tahun 1999 ini memang didesain untuk memikirkan pers sudah sebagai industri yang mandiri tidak lagi memerlukan campur tangan pemerintah dan pemerintah berkomitmen untuk menjaga kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan dasar warga Negara yang dibuktikan dengan amandemen UUD 1945 pada pasal 27 dan 28 serta Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM).
Tetapi sekali lagi di dalam pandangan moral, hukum adalah pisau bermata dua, dia bisa menyakiti pemiliknya. Hal ini yang selalu menjadi kontroversi karena hingga saat ini dimana penggunaan UU Pers masih menjadi hal yang alergi bagi kebanyakan kasus delik pers di Indonesia. Kebanyakan kasus delik pers masih menggunakan KUH Pidana karena menuntut kepada wartawan sebagai seorang individu bukan karena profesinya. Hasil berita yang tidak benar bukan dituntut dengan menggunakan Pasal 5 dan 6 UU No. 40 Tahun 1999 melainkan dengan menggunakan pasal penyebaran informasi bohong dan pencemaran nama baik dari KUH Pidana dikarenakan kedua pasal tersebut adalah pasal elastis atau yang dikenal sebagai pasal karet karena mudah sekali untuk menjadi multi interpretasi dan mempunyai rentang waktu hukuman yang lama dibandingkan UU No. 40 Tahun 1999 yang hanya 2 tahun penjara.
Isu yang Selalu Menjadi Kontroversi
Kemajuan dunia jurnalistik di Indonesia telah membangkitkan pers menjadi salah satu industri yang tumbuh pesat di Indonesia. Pertumbuhan tersebut ternyata diikuti pula oleh makin kompleks kinerja baik internal maupun eksternal yang harus dilakukan oleh insan-insan pers dalam hal ini adalah perusahaan media, agen distributor, biro iklan dan yang paling penting adalah profesi wartawan itu sendiri. Hubungan antara stakeholders tersebut sangat penting terutama jika kita mengaitkan kepada system pers yang lebih besar dimana masyarakat sebagai konsumen media juga ada di dalamnya. Persinggungan antara komponen system tentunya tidak bisa dielakkan, jika ini terjadi maka disitulah etika berfungsi sebagai pengkoreksi.
Dalam perkembangan industri pers dimana perkembangan profesi journalist juga terikut didalamnya. Saat ini kita mengenal undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai UU yang berlaku khusus bagi industri pers dan profesi yang berlaku didalamnya. Hal ini menyebabkan UU pers adalah lex specialis, apa itu lex specialis? Sebelumnya kita harus mengenal bahwa di dalam ketentuan hukum yang berlaku secara universal bahwa lex specialis derogate legi lex generali yang berarti ketentuan khusus mengeyampingkan ketentuan umum. UU Pers itu lex specialis, sedangkan KUH Pidana adalah lex generali. Artinya bahwa UU Pers diperuntukkan hanya mengatur dan menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat peran dan fungsi pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistik.
Jika merunut kepada epistimologi dari lahirnya UU ini dimana UU ini berfungsi untuk menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967 dan diubah dengan UU No. 21 Tahun 1982 bahwa UU No. 40 tahun 1999 ini memang didesain untuk memikirkan pers sudah sebagai industri yang mandiri tidak lagi memerlukan campur tangan pemerintah dan pemerintah berkomitmen untuk menjaga kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan dasar warga Negara yang dibuktikan dengan amandemen UUD 1945 pada pasal 27 dan 28 serta Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM).
Tetapi sekali lagi di dalam pandangan moral, hukum adalah pisau bermata dua, dia bisa menyakiti pemiliknya. Hal ini yang selalu menjadi kontroversi karena hingga saat ini dimana penggunaan UU Pers masih menjadi hal yang alergi bagi kebanyakan kasus delik pers di Indonesia. Kebanyakan kasus delik pers masih menggunakan KUH Pidana karena menuntut kepada wartawan sebagai seorang individu bukan karena profesinya. Hasil berita yang tidak benar bukan dituntut dengan menggunakan Pasal 5 dan 6 UU No. 40 Tahun 1999 melainkan dengan menggunakan pasal penyebaran informasi bohong dan pencemaran nama baik dari KUH Pidana dikarenakan kedua pasal tersebut adalah pasal elastis atau yang dikenal sebagai pasal karet karena mudah sekali untuk menjadi multi interpretasi dan mempunyai rentang waktu hukuman yang lama dibandingkan UU No. 40 Tahun 1999 yang hanya 2 tahun penjara.
______________________________________________________________________________
WARTAWAN adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao:
1. Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.
2. Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
3. Harus ada keahlian (expertise).
4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
Menurut saya, wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal tersebut.
1. Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1).
Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah penulis yang tidak disukainya.
2. Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya. Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.
3. Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.
4. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan.
1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2. Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
3. Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4. Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5. Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
6. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
KEWI harus mendapat perhatian penuh dari semua wartawan. Hal itu jika memang benar-benar ingin menegakkan citra dan posisi wartawan sebagai “kaum profesional”. Paling tidak, KEWI itu diawasi secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa.
1. Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.
2. Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
3. Harus ada keahlian (expertise).
4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
Menurut saya, wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal tersebut.
1. Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1).
Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah penulis yang tidak disukainya.
2. Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya. Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.
3. Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.
4. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan.
1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2. Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
3. Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4. Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5. Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
6. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
KEWI harus mendapat perhatian penuh dari semua wartawan. Hal itu jika memang benar-benar ingin menegakkan citra dan posisi wartawan sebagai “kaum profesional”. Paling tidak, KEWI itu diawasi secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa.
___________________________________________________________________________
Memahami Etika Jurnalistik
Profesi dan Etika
Sebelum kita bicara tentang etika jurnalistik, perlu kita ulas lebih dulu etika profesi. Hal ini karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter dan ahli hukum, adalah sebuah profesi (profession). Apa yang membedakan suatu profesi dengan jenis pekerjaan lain?
Profesi menurut Webster's New Dictionary and Thesaurus (1990)
1] adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang intensif dan lama. Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa berpraktek membutuhkan pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan, sekaligus latihan, cukup lama dan intensif.
Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang ketentuan hukum sebelum bisa berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki keterampilan tulis-menulis, yang untuk mematangkannya membutuhkan waktu cukup lama, sebelum bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi dengan pekerjaan biasa, seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan keterampilan atau pengetahuan khusus.
Huntington[2] menambahkan, profesi bukanlah sekadar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang memiliki ciri-ciri: 1. Keahlian (expertise)2. Tanggungjawab (responsibility)3. Kesejawatan (corporateness).
Sedangkan etika (ethics) adalah suatu sistem tindakan atau perilaku, suatu prinsip-prinsip moral, atau suatu standar tentang yang benar dan salah. Dengan demikian secara kasar bisa dikatakan, etika profesi adalah semacam standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat profesi tertentu.
Etika jurnalistik adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya.Etika jurnalistik ini penting. Pentingnya bukan hanya untuk memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan si jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.
Perumus Kode Etik
Lalu siapa yang berhak merumuskan Kode Etik Jurnalistik ini? Kode Etik biasanya dirumuskan oleh organisasi profesi bersangkutan, dan Kode Etik itu bersifat mengikat terhadap para anggota organisasi.
Misalnya: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) membuat Kode Etik Kedokteran yang mengikat para dokter anggota IDI. Begitu juga Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), atau Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), dan seterusnya.Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu organisasi profesi jurnalis, telah merumuskan Kode Etik sendiri.
AJI bersama sejumlah organisasi jurnalis lain secara bersama-sama juga telah menyusun Kode Etik Jurnalis Indonesia, yang diharapkan bisa diberlakukan untuk seluruh jurnalis Indonesia.Selain organisasi profesi, institusi media tempat si jurnalis itu bekerja juga bisa merumuskan Kode Etik dan aturan perilaku (Code of Conduct) bagi para jurnalisnya.
Harian Media Indonesia, misalnya, sudah memiliki dua hal tersebut.[3] Isinya cukup lengkap, sampai ke soal "amplop", praktek pemberian uang dari sumber berita kepada jurnalis, yang menimbulkan citra buruk terhadap profesi jurnalis karena seolah-olah jurnalis selalu bisa dibeli.
Meskipun disusun oleh organisasi profesi atau institusi media yang berbeda-beda, di Indonesia atau pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal dan tak banyak berbeda.
Tentu saja tidak akan ada Kode Etik yang membolehkan jurnalis menulis berita bohong atau tak sesuai dengan fakta, misalnya. Variasi kecil yang ada mungkin saja disebabkan perbedaan latar belakang budaya negara-negara bersangkutan. Untuk gambaran yang lebih jelas, sebagai contoh di sini disajikan Kode Etik AJI.
Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI)[4]
1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14. Jurnalis dilarang menerima sogokan.
15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Majelis Kode Etik
Anggota Majelis ini dipilih untuk masa kerja dua tahun. Jumlah dan kriteria anggota Majelis ini ditentukan oleh Kongres AJI. Jika ada anggota Majelis yang tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka pengisian lowongan anggota tersebut ditetapkan oleh Majelis dengan persetujuan pengurus AJI Indonesia.
Tugas Majelis Kode Etik, antara lain:
1. Melakukan pengawasan dalam pelaksanaan Kode Etik
2. Melakukan pemeriksaan dan penelitian yang berkait dengan masalah pelanggaran Kode etik oleh anggota AJI.
3. Mengumpulkan dan meneliti bukti-bukti pelanggaran Kode Etik.
4. Memanggil anggota yang dianggap telah melakukan pelanggaran Kode Etik.
5. Memberikan putusan benar-tidaknya pelanggaran Kode Etik.
6. Meminta pengurus AJI untuk menjatuhkan sanksi atau melakukan pemulihan nama.
7. Memberikan usul, masukan dan pertimbangan dalam penyusunan atau pembaruan Kode Etik.
Dewan Pers
Selain Majelis Kode Etik dari AJI, yang cakupan wewenangnya terbatas hanya untuk anggota AJI, di tingkat nasional juga kita kenal lembaga Dewan Pers, yang salah satu fungsinya adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Dewan Pers adalah lembaga independen yang dibentuk pada 19 April 2000, berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU No. 40 Tahun 1999, dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Anggota Dewan Pers terdiri dari 9 (sembilan) orang, yang mewakili unsur wartawan, pimpinan perusahaan pers, dan tokoh masyarakat yang ahli di bidang pers.Selain menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,
Dewan Pers berfungsi memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.Dewan Pers juga memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
Sedangkan tugas Dewan Pers adalah:
1. Memberikan pernyataan penilaian dan rekomendasi dalam hal terjadinya pelanggaran Kode Etik, penyalahgunaan profesi, dan kemerdekaan pers.
2. Keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik.
3. Keputusan atau rekomendasi Dewan Pers dipublikasikan ke media massa.
Harus diingat dan digarisbawahi di sini bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga pengadilan, yang bisa memasukkan jurnalis pelanggar kode etik atau pemimpin redaksi media massa bersangkutan ke penjara! Keputusan Dewan Pers bukanlah vonis pengadilan.
Artinya, kalangan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tetap terbuka untuk menempuh jalur hukum (lewat pengadilan), yang keputusannya memiliki kekuatan hukum. Seperti sudah diutarakan di atas, keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik.
[1]Webster's New Dictionary and Thesaurus. Concise Edition. 1990. New York: Russel, Geddes & Grosset.
[2] Samuel P. Huntington. 1964. The Soldier and the State; The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Sebagaimana dikutip dalam Nugroho Notosusanto. 1983. Menegakkan Wawasan Almamater. Jakarta: UI Press. Hlm. 16.
[3] Penulis selaku Asisten Kalitbang Media Indonesia waktu itu bersama Kalitbang Saur Hutabarat terlibat dalam perumusan Kode Etik dan Code of Conduct, yang tuntas diselesaikan pada September 2000. Proses penyusunannya juga mendapat masukan berharga dari pakar pers Ashadi Siregar (LP3Y, Yogyakarta) dan Atmakusumah Astraatmadja (LPDS, Jakarta), 22 Mei 2000.
[4] Dirumuskan di Jakarta, 12 Juli 1998.
Profesi dan Etika
Sebelum kita bicara tentang etika jurnalistik, perlu kita ulas lebih dulu etika profesi. Hal ini karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter dan ahli hukum, adalah sebuah profesi (profession). Apa yang membedakan suatu profesi dengan jenis pekerjaan lain?
Profesi menurut Webster's New Dictionary and Thesaurus (1990)
1] adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang intensif dan lama. Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa berpraktek membutuhkan pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan, sekaligus latihan, cukup lama dan intensif.
Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang ketentuan hukum sebelum bisa berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki keterampilan tulis-menulis, yang untuk mematangkannya membutuhkan waktu cukup lama, sebelum bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi dengan pekerjaan biasa, seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan keterampilan atau pengetahuan khusus.
Huntington[2] menambahkan, profesi bukanlah sekadar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang memiliki ciri-ciri: 1. Keahlian (expertise)2. Tanggungjawab (responsibility)3. Kesejawatan (corporateness).
Sedangkan etika (ethics) adalah suatu sistem tindakan atau perilaku, suatu prinsip-prinsip moral, atau suatu standar tentang yang benar dan salah. Dengan demikian secara kasar bisa dikatakan, etika profesi adalah semacam standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat profesi tertentu.
Etika jurnalistik adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya.Etika jurnalistik ini penting. Pentingnya bukan hanya untuk memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan si jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.
Perumus Kode Etik
Lalu siapa yang berhak merumuskan Kode Etik Jurnalistik ini? Kode Etik biasanya dirumuskan oleh organisasi profesi bersangkutan, dan Kode Etik itu bersifat mengikat terhadap para anggota organisasi.
Misalnya: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) membuat Kode Etik Kedokteran yang mengikat para dokter anggota IDI. Begitu juga Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), atau Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), dan seterusnya.Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu organisasi profesi jurnalis, telah merumuskan Kode Etik sendiri.
AJI bersama sejumlah organisasi jurnalis lain secara bersama-sama juga telah menyusun Kode Etik Jurnalis Indonesia, yang diharapkan bisa diberlakukan untuk seluruh jurnalis Indonesia.Selain organisasi profesi, institusi media tempat si jurnalis itu bekerja juga bisa merumuskan Kode Etik dan aturan perilaku (Code of Conduct) bagi para jurnalisnya.
Harian Media Indonesia, misalnya, sudah memiliki dua hal tersebut.[3] Isinya cukup lengkap, sampai ke soal "amplop", praktek pemberian uang dari sumber berita kepada jurnalis, yang menimbulkan citra buruk terhadap profesi jurnalis karena seolah-olah jurnalis selalu bisa dibeli.
Meskipun disusun oleh organisasi profesi atau institusi media yang berbeda-beda, di Indonesia atau pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal dan tak banyak berbeda.
Tentu saja tidak akan ada Kode Etik yang membolehkan jurnalis menulis berita bohong atau tak sesuai dengan fakta, misalnya. Variasi kecil yang ada mungkin saja disebabkan perbedaan latar belakang budaya negara-negara bersangkutan. Untuk gambaran yang lebih jelas, sebagai contoh di sini disajikan Kode Etik AJI.
Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI)[4]
1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14. Jurnalis dilarang menerima sogokan.
15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Majelis Kode Etik
Anggota Majelis ini dipilih untuk masa kerja dua tahun. Jumlah dan kriteria anggota Majelis ini ditentukan oleh Kongres AJI. Jika ada anggota Majelis yang tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka pengisian lowongan anggota tersebut ditetapkan oleh Majelis dengan persetujuan pengurus AJI Indonesia.
Tugas Majelis Kode Etik, antara lain:
1. Melakukan pengawasan dalam pelaksanaan Kode Etik
2. Melakukan pemeriksaan dan penelitian yang berkait dengan masalah pelanggaran Kode etik oleh anggota AJI.
3. Mengumpulkan dan meneliti bukti-bukti pelanggaran Kode Etik.
4. Memanggil anggota yang dianggap telah melakukan pelanggaran Kode Etik.
5. Memberikan putusan benar-tidaknya pelanggaran Kode Etik.
6. Meminta pengurus AJI untuk menjatuhkan sanksi atau melakukan pemulihan nama.
7. Memberikan usul, masukan dan pertimbangan dalam penyusunan atau pembaruan Kode Etik.
Dewan Pers
Selain Majelis Kode Etik dari AJI, yang cakupan wewenangnya terbatas hanya untuk anggota AJI, di tingkat nasional juga kita kenal lembaga Dewan Pers, yang salah satu fungsinya adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Dewan Pers adalah lembaga independen yang dibentuk pada 19 April 2000, berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU No. 40 Tahun 1999, dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Anggota Dewan Pers terdiri dari 9 (sembilan) orang, yang mewakili unsur wartawan, pimpinan perusahaan pers, dan tokoh masyarakat yang ahli di bidang pers.Selain menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,
Dewan Pers berfungsi memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.Dewan Pers juga memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
Sedangkan tugas Dewan Pers adalah:
1. Memberikan pernyataan penilaian dan rekomendasi dalam hal terjadinya pelanggaran Kode Etik, penyalahgunaan profesi, dan kemerdekaan pers.
2. Keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik.
3. Keputusan atau rekomendasi Dewan Pers dipublikasikan ke media massa.
Harus diingat dan digarisbawahi di sini bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga pengadilan, yang bisa memasukkan jurnalis pelanggar kode etik atau pemimpin redaksi media massa bersangkutan ke penjara! Keputusan Dewan Pers bukanlah vonis pengadilan.
Artinya, kalangan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tetap terbuka untuk menempuh jalur hukum (lewat pengadilan), yang keputusannya memiliki kekuatan hukum. Seperti sudah diutarakan di atas, keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik.
[1]Webster's New Dictionary and Thesaurus. Concise Edition. 1990. New York: Russel, Geddes & Grosset.
[2] Samuel P. Huntington. 1964. The Soldier and the State; The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Sebagaimana dikutip dalam Nugroho Notosusanto. 1983. Menegakkan Wawasan Almamater. Jakarta: UI Press. Hlm. 16.
[3] Penulis selaku Asisten Kalitbang Media Indonesia waktu itu bersama Kalitbang Saur Hutabarat terlibat dalam perumusan Kode Etik dan Code of Conduct, yang tuntas diselesaikan pada September 2000. Proses penyusunannya juga mendapat masukan berharga dari pakar pers Ashadi Siregar (LP3Y, Yogyakarta) dan Atmakusumah Astraatmadja (LPDS, Jakarta), 22 Mei 2000.
[4] Dirumuskan di Jakarta, 12 Juli 1998.
0 komentar:
Posting Komentar